Pentingnya Kaderisasi IPNU
Oleh: Ayub Al Ansori *)
Mengapa Kaderisasi?
Kita ketahui bersama, kaderisasi merupakan proses wajib bagi terbentuknya
gerakan massif di Ikatan Pelajar Nahdlatl Ulama (IPNU). Dengan demikian
kaderisasi menjadi sebuah tuntutan yang tidak dapat dipisahkan sama sekali dari
organisasi kaderisasi seperti IPNU, dengan berbagai dasar argumentasinya.
Argumentasi tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, Pewarisan nilai-nilai
(argumentasi idealis), pengaderan ada sebagai media pewarisan
nilai-nilai luhur yang difahami, dihayati dan diacu oleh IPNU. Nilai-nilai
harus diwariskan karena salah satu sumber elan-gerak IPNU adalah nilai-nilai,
seperti penghormatan terhadap sesama, perjuangan, kasih-sayang. Nilai-nilai
tersebut selain disampaikan melalui materi-materi pengaderan juga ditularkan
dalam pergaulan sehari-hari sesama anggota/kader IPNU. Kedua, Pemberdayaan
anggota (argumentasi strategis), pengaderan merupakan media bagi
anggota dan kader untuk menemukan dan mengasah potensi-potensi individu yang
masih terpendam. Secara lebih luas, pengaderan merupakan upaya pembebasan
individu dari berbagai belenggu yang menyekap kebebasannya. Sehingga individu
dapat lebih terbuka untuk menyatakan diri dan mengarahkan potensinya bagi
tujuan perjuangan organisasi. Ketiga, Memperbanyak anggota (argumentasi
praktis), manusia selalu membutuhkan orang lain untuk dijadikan teman.
Semakin banyak teman semakin manusia merasa aman dan percaya diri. Hukum
demikian berlaku dalam organisasi. Di samping itu kuantitas anggota sering
menjadi indikator keberhasilan organisasi, meskipun tidak bersifat mutlak.
Setidaknya semakin banyak anggota, maka human resources organisasi
semakin besar. Keempat, Persaingan antar-kelompok (argumentasi pragmatis),
hukum alam yang berlaku di tengah masyarakat adalah kompetisi. Bahkan teori
Charles Darwin, survival of the fittest, nyaris menjadi kenyataan yang
tidak dapat dielak siapapun. Dalam persaingan di tingkat praktek, cara yang
sehat dan tidak sehat campur aduk dan sulit diperkirakan berlakunya. Melalui
pengaderan, IPNU menempa kadernya untuk menjadi lebih baik dan ahli daripada
organisasi yang lain. Dengan harapan utama, apabila (kader) IPNU memenangkan
persaingan, kemenangan tersebut membawa kebaikan bersama. Hanya sekali lagi,
persaingan itu sendiri tidak dapat dielakkan.
Terakhir atau yang kelima, adalah sebagai mandat organisasi (argumentasi
administratif), regenerasi merupakan bagian mutlak dalam organisasi, dan
regenarasi hanya mungkin terjadi melalui pengaderan. Tujuan IPNU yang termaktub
dalam AD BAB IV Pasal 7 mengharuskan adanya pengaderan. Melalui pengaderan
penggemblengan dan produksi kader dapat sinambung. Oleh karena menjadi mandat
organisasi, maka pengaderan harus selalu diselenggarakan.
Kelima argumentasi pengaderan di atas tentu sangat ideal. Meski pada
perjalannya banyak sekali rintangan. Rintangan itu menjadi penghalang maju dan
suksesya kaderisasi di IPNU. Di sinilah IPNU “bertugas”. Sebagai
investasi civil society masa depan NU, IPNU lahir sebagai organisasi
kader. Salah satu ciri penting organisasi kader adalah penekanannya pada aspek
kaderisasi. Dengan kata lain, IPNU bertugas mencetak “generasi besar” yang siap
melakukan pertempuran di medan juang masa depan yang kian ganas. “Perlawanan”
untuk menciptakan kondisi ideal (ideal future) dipastikan akan semakin
menantang. Karenanya dibutuhkan gerakan yang ideal. Untuk melakukan gerakan
yang ideal dibutuhkan kader ideal. Nah, di sinilah proses kaderisasi menemukan
momentum, tentu dengan sistem dan manajemen yang berkualitas dan terencana
serta konsep yang paradigmatik.
Untuk itu paradigma kaderisasi IPNU diarahkan untuk membentuk sikap kritis
terhadap realitas sosial eksternal di satu sisi, dan membentuk kader yang
ideologis, militan, kreatif, profesional, memiliki kapasitas manajerial dan
kepemimpinan yang memadahi, serta berakhlakul karimah di sisi lain.
Dalam konteks IPNU, maka kesadaran struktural yang dibangun, sesuai dengan
fokus dan konsentrasi perjuangannya, seperti tujuan IPNU itu sendiri, Terbentuknya
pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak mulia,
berwawasan kebangsaan, dan kebhinekaan, serta bertanggungjawab atas
terlaksananya syari’at Islam menurut faham Ahlussunnah wal
jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 demi tegaknya
NKRI (AD BAB IV Pasal 7).
Paradigma kaderisasi seperti itulah yang diyakini dapat membentuk kader
IPNU yang mampu menjawab tantangan sosial eksternal sesuai dengan fokus gerakan
perjuangannya, sekaligus menjawab kebutuhan internal organisatoris IPNU.
Skema Kaderisasi IPNU
Untuk menjaga kontinuitas kaderisasi dan produktifitas kader secara
komprehensif, maka perlu adanya komitmen bersama dari jajaran kepengurusan IPNU
sebagai penyelenggara kaderisasi. Oleh karena itulah setiap periode
kepengurusan di setiap tingkatan wajib melaksanakan pelatihan minimal satu
kali, dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Masa Kesetiaan Anggota (MAKESTA) diselenggarakan oleh PR
atau PK dan atau diselenggarakan secara bersama oleh beberapa PR atau PK. Jika
PR atau PK belum terbentuk atau tidak mampu, maka MAKESTA boleh diselenggarakan
oleh PAC. Out-put MAKESTA adalah anggota IPNU.
2.
Latihan Kader Muda (LAKMUD) diselenggarakan oleh PAC
atau diselenggarakan secara bersama oleh beberapa PAC. Jika PAC tidak mampu,
maka LAKMUD boleh diselenggarakan oleh PC. Out-put LAKMUD adalah kader.
3.
Latihan Kader Utama (LAKUT) diselenggarakan oleh PC
atau diselenggarakan secara bersama oleh beberapa PC, berkoordinasi dengan PW.
LAKUT juga boleh diselenggarakan oleh PW. Out-put LAKUT adalah kader
utama/unggulan.
4.
Latihan Fasiltator (LATFAS) I -sebelumnya disebut LATPEL I- diselenggarakan oleh PC.
Pelatih yang dihasilkan dalam LATFAS I hanya memiliki kewenangan untuk manjadi
pelatih/fasilitator pada jenjang MAKESTA dan LAKMUD. Out-put LATFAS I adalah
pelatih yang memiliki sertifikasi untuk melatih pada level MAKESTA dan LAKMUD.
5.
Latihan Pelatih (LATFAS) II -sebelumnya disebut LATPEL II- diselenggarakan oleh PW. Pelatih yang
dihasilkan dalam LATFAS II memiliki kewenangan untuk manjadi
pelatih/fasilitator pada jenjang MAKESTA, LAKMUD dan LAKUT dan LATFAS I.
Out-put LATPEL II adalah pelatih yang memiliki sertifikasi untuk melatih pada
semua level pelatihan dalam IPNU.
Sesuai dengan harapan kita, kaderisasi merupakan roh dari organisasi yang
melaksanakan “produksi” kader secara simultan dan sistemik. Harapan mewujudkan
kader yang kritis, kreatif, profesional dan berakhlakul karimah merupakan
tanggungjawab semua penyelenggara baik panitia, pelatih, maupun pengurus IPNU.
Standarisasi
Kader
Satu-satunya
gerbang rekruitmen anggota IPNU adalah MAKESTA. Alumni jenjang pelatihan ini
secara otomatis menjadi anggota IPNU, tetapi belum menjadi kader atau memenuhi
standar kader. Pelaksanaan Makesta dimulai
dari tingkat PR, PK, dan atau PAC yang notabene merupakan struktur organisasi
yang bersentuhan langsung dengan anggota. Ketiganya secara langsung
bertanggungjawab terhadap rekrutmen anggota serta pelaksanaan pengaderan awal
IPNU. Namun apabila dalam sebuah PAC tidak terdapat PR maka tugas
rekrutmen anggota menjadi tanggung jawab PAC tersebut.
Begitupun jika dalam sebuah sekolah dan pesantren belum terbentuk IPNU, maka
tanggungjawab pengaderan atau rekruitmen anggota menjadi tanggung jawab PAC dan atau
PC.
Makesta
di beberapa daerah diadakan setiap tahun dan ditangani oleh PK, PR, atau PAC. Namun
tidak jarang pula secara kolektif dilakukan di PAC atau PC secara bersama-sama,
biasa diistilahkan Makesta Raya. Bahkan ada yang “dititipkan” di Makesta tempat
lain.
Untuk
memperlebar sayap organisasi di sekolah dan pesantren, jalur kultural dianggap
efektif. Praktisnya dilakukan dengan dua cara, yakni membangun kontak person
dengan pelajar dan santri di sekolah dan pesantren tersebut. Kemudian
menitipkannya pada PK, PR, atau PAC yang melaksanakan Makesta. Hal ini dapat
mengembangkan ghirah untuk membentuk komisariat baru. Anggota yang telah
resmi masuk ke IPNU praktis terikat dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan
oleh IPNU. Terlebih IPNU sendiri merupakan organisasi ideologi yang memegang
teguh prinsip-prinsip teologis dan ideologi yang menjadi pegangannya.
Selanjutnya jenjang pelatihan untuk mencapai standarisasi
kader adalah Latihan Kader Muda (LAKMUD). Standardisasi kader yang dimaksud
merupakan suatu ukuran dasar seseorang bisa disebut kader IPNU yang memiliki
hak untuk masuk dalam ruang kompetisi kader di berbagai tingkat kepengurusan.
Di samping itu, setelah mencapai standard kader, setiap kader diberi pilihan
untuk meningkatkan kualitas kekaderannya melalui berbagai program pelatihan
yang tersedia.
Setelah
memenuhi standard kader ini juga, seorang kader dapat juga menjadi pelatih atau
fasilitator pelatihan dengan terlebih dulu mengikuti Latihan Fasilitator/Pelatih (LATPEL) I. Kader juga dapat memilih
untuk meningkatkan kapasitas kekaderannya dengan mengikuti latihan jenjang
berikutnya, yaitu Latihan Kader Utama (LAKUT) dan Latihan Fasilitator/Pelatih (LATPEL) II.
Jenjang-jenjang
kaderisasi yang telah dikonseptualisasikan memang seharusnya ada dan
dilaksanakan. Tetapi tidak cukup itu. Proses kaderisasi adalah “jalan panjang”
yang tak pernah putus. Bahkan jika mau jujur, yang jauh lebih penting adalah
tindak lanjut pasca-pelatihan yang sering bersifat informal. Karenanya,
dibutuhkan kreatifitas untuk mendesainnya.
Menyoal Pola Rekomendasi Kiai-Alumni (Menerabas Batas-Batas Kaderisasi?)
Standarisasi kaderisasi di atas menurut penulis menjadi syarat mutlak bagi
seseorang yang ingin disebut sebagai anggota dan kader IPNU. Minimalnya melalui
kaderiasi formal yang kemudian menjadi standarisasi kaderisasi di IPNU anggota
dan kader betul-betul menjadi anggota dan kader yang militan dan mempunyai rasa
memiliki terhadap IPNU. Dan yang paling utama adalah anggota dan kader menjadi
yakin bahwa berkhidmat di IPNU akan memberikan keberkahan dalam hidup.
Jika memang IPNU ingin benar-benar disebut organisasi kader dan menghargai
proses kaderisasi. Maka kita perlu memahami bahwa standarisasi kaderisasi
tentunya berkaitkelindan dengan kriteria pengurus IPNU dari level PR sampai PP.
Mengapa demikian? Tentunya seorang pengurus harus memiliki pengetahuan,
kecakapan, dan pengalaman tentang IPNU itu sendiri. Tidak mungkin seseorang
yang bukan anggota atau kader IPNU menjadi pengurus. Kalau menjadi seorang
partisifan mungkin saja.
Untuk itu kita harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, jelas disebutkan
dalam PRT BAB IX tentang kriteria pengurus, kriteria pengurus Pimpinan Pusat
(PP) tertulis pada pasal 20 ayat 1 bahwa kriterianya memiliki pengalaman
mengikuti Makesta, Lakmud, dan Lakut (bahkan harus dibuktikan dengan sertifikat),
juga kriteria pengurus Pimpinan Wilayah (PW) tertulis pada pasal yang sama ayat
2 harus sudah mengikuti Makesta dan Lakmud begitu juga untuk pengurus PC pada
ayat 3. Sedangkan untuk pengurus PAC dan PK tertulis pada pasal 20 ayat
berikutnya yaitu 4 dan 5, sekurang-kurangnya telah mengikuti Makesta. Kriteria
tersebut menjadi patokan dan mutlak harus diberlakukan pada setiap tingkatan,
jika benar-benar aturan dalam PRT tersebut dilaksanakan. Namun yang terjadi
justru sebaliknya. Banyak sruktur kepengurusan baik level PK, PAC, PC, dan PW
bahkan parahnya terjadi juga pada level PP tidak bisa melaksanakan aturan
tersebut. Ada beberapa pengurus yang belum memenuhi syarat atau kriteria yang
menduduki posisi dalam struktur. Apalagi kalau sudah mendapat rekomendasi dari
Kiai atau Alumni yang disegani sudah barang tentu tidak bisa mengelak. Kedua,
dalam menyusun struktur di semua level kepengurusan mestinya memerhatikan
kriteria-kriteria calon pengurus terlebih dahulu. Bukan soal kepercayaan dan
amanah dari Kiai atau Alumni, tapi soal pengetahuan, pengalaman, pengabdian dan
tentunya aturan dalam PD/PRT yang sudah disepakati bersama dalam Kongres. Kalau
tidak dilaksanakan aturan tersebut, untuk apa mencurahkan segenap tenaga dan
pikiran untuk membahas PD/PRT?. Ini menjadi pekerjaan rumah tangga kita bersama
untuk IPNU ke depan yang lebih baik dan tertib administrasi.
Selanjutnya yang ketiga, para Kiai dan Alumni (mohon maaf bukan maksud
penulis bersikap tidak taat pada Ulama) sudah seharusnya memerhatikan kriteria-kriteria
orang atau kader yang beliau-beliau rekomendasikan. Harus dilihat betul apakah
orang yang direkomendasi benar-benar kader IPNU. Sudah melakukan apa untuk
IPNU? Sudahkah mengikuti jenjang kaderisasi dalam IPNU (Makesta, Lakmud, atau
Lakut)? Memiliki pengalaman tidak dalam kepengurusan IPNU (PK, PAC, atau PC)?.
Sehingga tidak terkesan menerabas batas-batas kaderisasi dalam IPNU. Hal-hal
inilah yang sudah sepatutnya diperhatikan.
Penulis sangat apresiatif atas dikukuhkannya PP IPNU di Wisma Menpora meski
terkesan ada beberapa pengurus merupakan orang “titipan” yang masih
dipertanyakan kaderisasi dan pengalaman organisasinya. Namun semua itu
mudah-mudahan dilakukan dengan tujuan bahwa IPNU kedepannya diharapkan dapat
menjadi lebih baik dan selalu beriringan dengan Ulama. Namun penulis sebagai
anggota berharap bahwa PP IPNU dapat mempertimbangkan setiap masukan maupun
kritikan yang disampaikan pada PP IPNU untuk di jadikan sebuah proses evaluasi
atas segala keputusan dan kebijakan yang ditetapkan agar tidak timbul saling
tuding dan curiga bagi anggota dan kader.
Jika hari ini IPNU masih mementingkan kaderisasi dan ingin memperbaiki
kelembagaan baik organisasi dan kaderisasi secara menyeluruh, menurut hemat
penulis seharusnya program yang harus didahulukan oleh PP IPNU adalah melakukan
survey maupun lokakarya kaderisasi secara nasional, agar segala hal yang
berkaitan dengan pola kaderisasi, organisasi termasuk pola rekrutmen
kepengurusan di setiap level organisasi IPNU bisa kemudian menjadi sebuah
pedoman dasar dalam berorganisasi.
Penulis sebagai anggota IPNU berharap yang terbaik bagi IPNU kedepannya,
sehingga tidak ada aturan yang bersifat abu-abu, karena penulis faham bahwa
setiap aturan sepatutnya menjadi sebuah pedoman kita dalam berorganisasi. Salam
Belajar, Berjuang, dan Bertaqwa.