AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH
A. Pengantar
Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem
keorganisasian IPNU-IPPNU. Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan
keyakinan Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian
kehidupan sehari-hari setiap anggota/kader organisasi kita. Akarnya
tertanam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam
menjalankan Islam.
Selama ini proses reformulasi Ahlussunnah wal-Jama’ah telah berjalan,
bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH Said
Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu diperlakukan
sebagai sebuah madzhab. Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab,
khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul melihat perkembangan
zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula.
Dari latar belakang dan penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana
selama ini digunakan, lahirlah gagasan Ahlussunnah
wal-Jama’ah sebagai manhaj
al-fikr (metode berpikir).
IPNU-IPPNU melihat bahwa gagasan
tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, karena muatan doktrinal
Aswaja selama ini yang terkesan terlalu mengikat. Sebagai manhaj, Aswaja
menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan
ruang kreatifitas dan menelurkan
ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.
Bagi IPNU-IPPNU, Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa
Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak
diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan
sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut
sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan
mengamalkan Islam. Di sini, IPNU-IPPNU sekali lagi melihat bahwa Aswaja
merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan
Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.
B. Sketsa Sejarah
Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin
dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat
antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah,
dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses
pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ al-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a dengan
Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah keempat tersebut, setelah dikelabui
melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin
terpecah ke dalam berbagai golongan. Diantara mereka terdapat Syi’ah
yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali
yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah
yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.
1.
Perkembangan Islam Pasca
Wafatnya Rasulullah
Nabi
Muhammad SAW wafat pada tanggal 02 Rabi’ul Awwal 11 H atau 08 Juni 632M. Di
hari wafatnya sekelompok Kaum Anshar (sahabat Nabi yang berasal dari Madinah)
dibawah pimpinan Sa’ad bin Ubadah dari suku Khazraj berkumpul di sebuah tempat
yang bernama Saqifah Bani Sa’idah untuk mencari Khalifah, pemimpin pengganti
Nabi.Mendengar hal ini Kaum Muhajirin (sahabat Nabi yang berasal dari Makkah
dan pindah ke Madinah) datang ke Saqifah dibawah pimpinan Abu Bakar as-Shiddiq .
Setelah
terjadi perdebatan yang cukup sengit dimana Kaum Anshar mencalonkan Sa’ad bin
Ubaidah sebagai calon Khalifah dan Kaum Muhajirin mengajukan Abu Bakar atau
Umar bin Khattab sebagai calon Khalifah, akhirnya semua sepakat untuk
mengangkat sahabat yang paling utama yaitu Sayidina Abu Bakar as-Shiddiq
sebagai Khalifah pengganti Nabi.
Dalam
rapat itu tidak ada seorangpun yang mengemukakan Sayidina Ali bin Abi Thalib
sebagai Khalifah. Faham Syi’ah belum ada ketika itu, yang ada hanya Kaum Anshar
dan Muhajirin, tetapi perselisihan tersebut tidak menimbulkan firqah dalam
Ushuluddin karena perselisihan tersebut telah selesai dengan diangkatnya
Sayidina Abu Bakar sebagai Khalifah secara aklamasi.
2.
Munculnya Aliran-Aliran dalam
Islam
Pada
tahun 30 H timbul Faham Syi’ah
yang disulut oleh Abdullah bin Saba’ yang beroposisi terhadap Khalifah Utsman
bin Affan.
Setelah
terjadi Perang Siffin, perang saudara sesama Islam antara tentara Khalifah Ali
bin Abi Thalib dengan tentara Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Gubernur Syria) pada
tahun 37 H timbul pula Faham Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari
Sayidina Ali dan Mu’awiyah.
Pada
awal abad kedua Hijriah timbul pula Faham Mu’tazilah
yaitu yang dipimpin oleh Washil bin ‘Atha’ (80-113 H) dan Umar bin Ubaid (wafat
145 H). Kaum Mu’tazilah ini mengeluarkan pendapat adanya
“manzilah bainal manzilatain” yaitu ada tempat di antara dua tempat neraka dan
surga, bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Al-Quran adalah makhluk, mi’raj Nabi
hanya dengan ruh saja, bahwa pertimbangan akal lebih didahulukan dari hadits
Nabi, bahwa surga dan neraka akan lenyap dsb.
Kemudian
timbul Faham Qadariyah yang
mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri, tidak
bersangkut paut dengan Tuhan. Hak mencipta telah diberikan Tuhan kepada manusia
sehingga Tuhan tidak tahu dan tidak peduli lagi akan apa yang diperbuat oleh
manusia.
Kemudian
timbul pula Faham Jabariyah yang
mengatakan bahwa sekalian yang terjadi adalah dari Tuhan, manusia tidak
memiliki daya apa-apa, tidak ada usaha dan tidak ada ikhtiar.
Selanjutnya
timbul Faham Mujassimah, yaitu
faham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, punya tangan dan kaki, duduk di
atas kursi, turun tangga seperti manusia, Tuhan adalah cahaya seperti lampu dan
sebagainya.
Dan
timbul pula faham-faham yang keliru tentang tawassul dan washilah, tentang
ziarah dan istighatsah dari Ibnu Taimiyah yang semuanya mengacaukan dunia Islam
dan kaum muslimin.
Selain golongan tersebut masih
ada Murji’ah dan Qadariyah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan
Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) –berlawanan dengan faham Jabariyah.
Diantara kelompok-kelompok itu,
adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan
Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan
al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat
kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran
secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai
faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka
mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak
ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk
mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik
ketika itu.
Seirama waktu, sikap dan
pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H),
Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H),
hingg tibaa pada generasi Abu Hasan al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.
333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering
dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh
sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia merupakan salah satu
penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah
wal-Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di
kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya
tergabung –baik tergabung secara sadar maupun tidak– dalam jam’iyyah Nahdlatul
Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.
C. Pengertian
Secara semantik arti Ahlussunnah wal-Jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk,
jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah penganut
aliran atau penganut madzhab (ashab al-madzhab).
Al-Sunnah mempunyai arti ‘jalan’, disamping memiliki arti al-Hadist.
Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para
Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki
tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah
wal-Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi,
Para Shahabat dan tabi’in.
Nahdlatul Ulama merupakan ormas
Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun
Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh K.H. Hasyim
Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun
tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang
akidah menganut pendapat Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari
salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah –Imam Hanafi, Imam Malik,
Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam
Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Selama kurun waktu berdirinya
(1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh
Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul
gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih
tepat dipergunakan dengan cara lain?
Aswaja sebagai madzhab artinya
seluruh penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak
lagi relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang
berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya.
Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana
mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?
Dua gugatan tersebut dan banyak
lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang
menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab.
Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau
metode berpikir.
D. Aswaja Sebagai Manhaj Al-Fikr
Konsep dasar yang dibawa dalam
Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said
Agil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya Aswaja ditafsir ulang
dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk
langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja. Secara sempurna
definisi Aswaja menurutnya adalah : “Manhaj Al Fikr Al Diny Al Syml’ala
Syu’un Al Hayat Wa Mu’tadlayatiha Al Khaim Ala Asas Al Tawasuth Wal Tawazzun
Wal Al I’tidal Wa Al Tasamuh” (berpikir keagamaan yang mencakup segala
aspek kehidupan dan berdiri diatas prinsip keseimbangan, balancing, jalan
tengah dan netral dalam aqidah penengah dalam permasalahan kehidupan sosial
kemasyarakatan serta keadilan dan toleransi dalam politik).
IPNU-IPPNU memandang bahwa Ahlussunnah
wal-Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga
keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir
dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan
sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
Sebagai manhaj al-fikr, IPNU-IPPNU
berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral),
ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath)
yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja
memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan
Al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk
pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah)
dan golongan fatalis.
Sikap netral (tawazun)
berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau
kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah
rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak
terkotak dalam pandangan mendukung atau menolak sebuah rezim. Dengan
Aswaja, IPNU-IPPNU tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong
kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga
berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun
tersebut adalah memperhatikan bagaimana keterpenuhan kaiadah dalam perjalanan
sistem kehidupan sosial-politik.
Keseimbangan (ta’adul)
dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul
dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada
cara bergaul IPNU-IPPNU sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk
agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya,
etnis, ideologi politik dan agama, IPNU-IPPNU pandang bukan semata-mata
realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT
memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya.
Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul
dan tasamuh.
E.
Prinsip Aswaja Sebagai Manhaj
Berikut ini adalah
prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut
meliputi Aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
- Aqidah
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar
yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang
pertama adalah aqidah Uluhiyyah (ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga abad pertama Hijriyah,
terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT. Dimana
terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan.
Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat
bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah
yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah
adalah nama-nama (Asma’)-Nya.
Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.
Aswaja menekankan bahwa pilar
utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni
yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara
dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak
memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat,
yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan
Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga
acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia
dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat
ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah
utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia
adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan
dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai
amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab)
seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal
baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2.
Bidang sosial politik
Berbeda dengan golongan Syi’ah
yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah),
Ahlussunnah wal-Jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu
kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij
yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah
mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah, negara merupakan alat untuk
mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama
(mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk
negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi
(kerajaan) atau negara-modern/demokrasi,
asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah
negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas
(wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
a.
Prinsip syura
(musyawarah)
Negara harus mengedepankan
musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan
peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah:
“(36). Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu
adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal. (37). Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka
memberi maaf. (38). Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (39). Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka
diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (Q.S. Al-Syura; 42:36-39)
b.
Prinsip al-‘adl (keadilan)
Keadilan adalah salah satu
Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah
pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu
ayat Al-Qur’an
yang memerintahkan keadilan:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” (QS An-Nisa; 4:58)
c.
Prinsip al-hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan
menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena
merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah
dikenal dengan Al-Ushulul Khams (prinsip yang lima), yaitu:
· Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk
menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan
bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
· Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang
memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak
memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
· Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga
negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya
hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
· Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap
asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga
kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah
etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama
setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
· Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri,
kehormatan, profesi, pekerjaan atau pun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga
negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung
tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.
Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Asasi Manusia
yang lebih dikenal dalam dunia modern. Lima pokok atau prinsip diatas menjadi
ukuran bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi
setiap orang yang menjadi pemimpin di kemudian hari.
d.
Prinsip al-musawah (kesetaraan derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama
oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa
yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih
tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal
antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah
bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
“Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujuraat, 49:13)
Perbedaan bukanlah semata-mata
fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial.
Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT.
Demikian disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dan Kami telah
turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421]
terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Q.S. Al-Maidah; 5:48)
Dalam sebuah negara kedudukan
warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan
memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan
semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan
bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum.
Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam
wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas
ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas,
maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun
tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara
ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan –baik
negara maupun kerajaan– harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
- Bidang istinbath al-hukm (pengambilan hukum syari’ah)
Hampir seluruh golongan Sunni menggunakan
empat sumber hukum yaitu:
a.
Al-Qur’an
b.
As-Sunnah
c.
Ijma’
d.
Qiyas
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath
al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli
posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
Sementara As-Sunnah meliputi Al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW,
sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah
setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap)
dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah sendiri mempunyai
tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir),
terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat
As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali
Ibn Muhammad Al Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok
legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa
terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf
dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an, dasar Ijma’
disebutkan:
“Dan
Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. An-Nisa’, 4:115)
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Q.S. Al Baqarah, 2:143)
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu
hasil ijtihad para ulama. Qiyas
yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada
nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
4. Tasawuf
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan "Tasawuf
artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya;
Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan
apa pun."
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain
Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan
perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang
terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka
telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya
sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari
Allah.”
“berada semata-mata bersama
Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid,
lalu “menyucikan hati dari apa saja selain Allah.... Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,”
kata Imam Al-Ghazali.
Seorang sufi adalah mereka yang
mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya. Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT
adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita
di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai
sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya
tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah
kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah
harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli
tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat
saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses,
Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi
yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu
Sa’id Al-Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily
sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah
sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa
meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar
bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada
urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan
dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan
budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk
mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total
sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu.
Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas
sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia
bagi terwujudnya masyarakat yang baik.
F.
Penutup
Ahlussunnah wal-Jama’ah sebagai manhaj al-fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai
sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat
disamakan dengan metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik,
sisi teknikalitas pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur
yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis
pembaharuan atau perubahan sangat mungkin terjadi.
Sebagai metode berpikir, boleh
jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar teknikalitas sama tinggi
dengan metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih
komprehensif dan mendalam terhadap Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama
terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami sajikan di sini, yang
sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis
untuk memandu langkah per langkah tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul
kemudian apabila kenyataan lapangan sungguh-sungguh menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan
primer kolektif kita masih terletak pada memahami, hal semacam itu kami
pandang belum menjadi kebutuhan objektif.
Post a Comment