Hari Santri Nasional: Bentuk Penghormatan Sejarah
Bangsa
Oleh: Ayub Al Ansori *)
Ribuan bahkan jutaan santri saat ini tentu sedang
menanti ditetapkannya Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober mendatang oleh
Presiden Joko Widodo. Bukan untuk berbangga-bangga ria apalagi menyombongkan
diri bahwa kini santri mendapat pengakuan dari Negara. Ini bukan khas kaum
santri dan pesantren. Jauh lebih penting lagi, selama ini ketika berbicara
sejarah di Indonesia banyak yang masih belum jujur dan apa adanya. Selama ini
sejarah dituturkan dan ditulis secara tidak lengkap, atau sengaja dipotong dan
ditutupi karena ada kepentingan tertentu. Entah karena kepentingan politis atau
apapaun, namun sejarah mesti dibuat lurus. Yang jelas, gagasan NU mengusung
penetapan 22 Oktober sebagai Hari Sanri Nasional adalah langkah awal agar kita
belajar jujur dalam membicarakan sejarah.
Latar belakang pentingnya Hari Santri Nasional,
selanjutnya disingkat HSN, adalah untuk menghormati sejarah perjuangan bangsa
ini. HSN tidak sekadar memberi dukungan dan apresiasi terhadapa kelompok
santri. Justru, inilah penghormatan Negara terhadap sejarahnya sendiri.
Barangkali ini sesuai dengan ajaran Bung Karno, bahwa bangsa yang besar adalah
bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, “Jas Merah” begitu kata Bung Karno.
Kaum santri merupakan bagian dari bangsa Indonesia
yang membawa bangsa ini menegakkan kemerdekaan melalui Resolusi Jihad 22
Oktober yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Resolusi Jihad
bukan hanya sekedar jihad membela Islam namun lebih jauh membela tanah air,
bangsa dan Negara Indonesia. Kang Said –sapaan akrab K.H. Said Aqil Siradj- Ketua
Umum PBNU, mengatakan bahwa Resolusi Jihad mewajibkan setiap muslim berjihad melawan siapapun yang akan kembali
menjajah Indonesia. Resolusi Jihad 22 Oktober membakar darah juang santri dan warga Negara lainnya. Maka 10 Nopember adalah puncak pertempuran santri dan para pejuang lainnya dalam mewujudkan Resolusi Jihad. Indikasi betapa berpengaruhnya Resolusi Jihad
adalah teap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hingga pasukan sekutu
dibuat kewalahan. Tanpa Resolusi Jihad, tidak
akan pernah ada pertempuran 10 Nopember.
Begitu pun menurut Gugun El Guyanie dalam
bukunya Resolusi Jihad Paling Syar’I bahwa Resolusi Jihad berperan penting dalam
mengobarkan semangat nasionalisme warga NU dalam peristiwa 10
November 1945. Semangat pemuda dan santri NU saat itu merupakan sesuatu hal yang tidak
lah aneh karena Islamnya orang NU adalah Islam yang Indonesia. Penulis
masih saja ingat apa yang selalu Gus Dur katakana bahwa kita adalah orang
Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia.
Pernyataan Gus Dur tersebut sepintas memang sederhana, tapi jika kita
memahaminya lebih jauh maka kita akan menemukan jawaban bahwa selama ini NU
telah membuktikannya dengan semangat Resolusi Jihad yang berangkat dari
nilai-nilai nasionalisme dan keislaman saat itu. Bagi orang NU, menjadi Islam
seratus persen berarti menjadi nasionalis seratus persen karena Hubbul
Wathan Minal Iman (mencintai negara adalah sebagian dari iman). Sikap
nasionalisme dan anti penjajah inilah yang melatar belakangi lahirnya Resolusi Jihad. Dalam konteks
Resolusi Jihad, NU menjadikan pengertian jihad yang sering dikutip Gus Dur dari
kitab fathul mu’in sebagai rujukan, yakni, “daf’u dlarar
ma’sumin musliman kana au ghaira muslim” (melindungi kehormatan orang-orang
yang perlu dibela, baik Muslim maupun non Muslim). Dengan kata lain, berjihad
melindungi kehormatan seluruh bangsa Indonesia, baik yang Muslim maupun non
Muslim, asalkan satu bangsa, satu nasib, seperjuangan adalah sebuah kewajiban
setiap warga Negara.
Bukti Resolusi Jihad
bukan sekedar persoalan agama namun juga persoalan bangsa dan negara, adalah bunyi Fatwa Jihad
KH. Hasyim Asy’ari seperti berikut:
(1) Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meskipun fakir (2) Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid (4) Hukumnya orang yang memecahkan persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh.
(1) Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meskipun fakir (2) Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid (4) Hukumnya orang yang memecahkan persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh.
Argumentasi Pentingnya Hari Santri Nasional
Karena fakta sejarah di atas mengatakan bahwa Resolusi
Jihad menjadi semangat tersendiri untuk tetap mempertahankan NKRI. Maka tanggal
22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional sebagai pengingat sejarah yang sempat
terlupakan yaitu Resolusi Jihad. Penulis mengutip pendapatnya KH. Abdul Ghoffar
Rozien, Ketua PP RMI NU, bahwa ada tiga argument strategis tentang pentingnya
penetapan HSN. Pertama, HSN pada 22 Oktober mendatang, menjadi ingatan
sejarah tentang Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting yang
menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang
melawan pasukan colonial, yang puncaknya pada 10 Nopember 1945.
Kedua, Jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga
perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kiai jelas menjadi cataan sejarah
yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul Islam (daerah Islam)
pada pertemuan para kiai di Banjarmasin, 1936. Sepuluh tahun berdirinya NU dan
Sembilan tahun sebelum kemerdekaan, kiai-santri sudah sadar pentingnya konsep
Negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup
bersama. Tentu ini merupakan konsep yang luar biasa.
Ketiga, Kelompok santri dan kiai-kiai terbukti mengawal
kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para kiai dan santri selalu
berada di garda depan untuk mengawal NKRI, memperjuangkan Pancasila. Pada
Muktamar di Situbondo, 1984, jelas sekali tentang rumusan Pancasila sebagai
dasar Negara. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa di
kompromikan. Wallahu A’lam Bil Al Showabi.
*) Penulisa adalah santri Pondok Kebon Jambu Al Islamy
Pesantren Babakan Ciwaringin.
Tulisan pernah dimuat dalam Harian Umum Kabar Cirebon tahun 2015.
Post a Comment