GENEOLOGI NAHDLATUL ULAMA (NU)
Pengantar
Nahdlatul
Ulama’ (Ar.: Nahdlah Al ‘Ulama’ = Kebangkitan ‘Ulama). Salah satu
organisasi social dan organisasi masyarakat keagamaan di Indonesia. Organisasi
ini berkedudukan di ibu kota Negara, tempat pengurus besarnya berada, NU
berakidah Islam menurut paham Ahlusunnah Waljama’ah dan menganut imam madzhab 4
(Empat) : Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali. Asasnya adalah Pancasila.
Tujuan didrikannya adalah untuk memperjuangkan berlakunya Ajaran Islam yang
berhaluan Ahlusunnah Waljama’ah dan menganut Madzhab Empat di
tengah-tengah kehidupan di dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang
berasaskan Pancasila (dalam Ensiklopedia Islam Jilid 5: Van Hoeve).
1.
Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama
Berdirinya
jam’iyah Nahdlatul Ulama’ didahului oleh beberapa peristiwa yang merupakan
prolog dari pendirian organisasi tersebut. Kejadian itu adalah berdirinya
organisasi-organisasi yang menjadi cikal bakal NU diantaranya :
a.
Berdirinya lembaga keuangan yang bernama Syirkatul Inan li
Murabathi al-Tujjar yang dirintis KH. Hasyim Asy’ari untuk menggalang kekuatan
ekonomi. Melalui lembaga ini Kiai Hasyim melancarkan fatwa-fatwa agar umat
Islam menabung untuk pemberdayaan ekonomi dan modal berjuang untuk kemerdekaan.
Kemudian Kiai Hasyim mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Tujjar dengan
menggandeng dua murid kesayangannya yaitu KH. A. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri
Syamsuri untuk bertekad membentuk jam’iyyah yang diharapkan mampu membangkitkan
kesadaran umat atas keterjajahan, keterbelakangan, dan kemunduran.
b.
Berdirinya Grup Diskusi di Surabaya tahun 1914 dengan nama
“Taswirul Afkar” dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansyur dan juga
ada “Islam Studie Club” untuk diskusi masalah agama.
c.
Berdirinya “Nahdlatul Wathon” (Kebangkitan Tanah Air) Tahun
1916, yang banyak mengelola madrasah dengan nama madrasah “Nahdlatul Wathon”
yang mendapat badan hukum dengan pengurus KH. Khohar sebagai Direktur, KH.
Wahab Hasbullah sebagai Pimpinan Guru, KH. Mas Mansyur sebagai Kepala Sekolah
yang dibantu KH. Ridlwan Abdullah.
d.
Dalam perkembangannya “Nahdlatul Wathon” berubah menjadi ”Subbanul
Wathon” tahun 1925 yang bermarkas di jalan Onderling Blang Surabaya. Yang
merupakan cikal bakal gerakan Pemuda Anshor.
Sesungguhnya yang melatar belakangi lahirnya NU adalah ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab
wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam
maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah.
Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di
Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan KH. Ahmad Dahlan,
maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan
pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab
dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota
Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak
dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam
Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan
bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz,
yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz,
dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud
mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan
ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional
kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab
dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat
berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang
bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk
membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai
kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar. Yang hadiri pada saat didirikannya NU di Surabaya adalah;
1)
Hadratus Syekh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng)
2)
KH. Wahab Hasbullah
3)
KH. Bisyri Syamsuri (Denanyar Jombang)
4)
KH. R. Asnawi (Kudus)
5)
KH. Ma’shum (Lasem)
6)
KH. Ridlwan (Semarang)
7)
KH. Nawawi (Malang)
8)
KH. Ridlwan (Surabaya)
9)
KH. Abdul Halim (Leuwimunding Majalengka)
10)
KH. Doro Muntoha (Menantu KH.Cholil Bangkalan madura)
11)
KH. Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
12)
KH. Dahlan Abdul Qohar (Kertosono)
13)
KH. Abdullah Faqih (Gresik)
Dalam pertemuan itu diambil keputusan – keputusan sebagai berikut
:
Pertama: Meresmikan berdirinya “Komite Hijaz” untuk mengirimkan
delegasi untuk berjumpa muka dengan Raja Ibnu Su’ud di Mekkah.
Kedua: Membentuk suatu Jam’iyah untuk wadah persatuan para Ulama’
dalam tugas memimpin Islam menuju terciptanya Izzul Islam Wal Muslimin
(Kejayaan Islam dan Ummatnya).
Ketiga: Membatasi masa kerja Komite Hijaz hingga pulangnya
delegasi dari menjalankan tugasnya ke Mekkah.
Keanggotaan Komite Hijaz pada awal mulanya terdiri atas KH. Wahab
Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghona’eim Al-Amir Al-Misri, seorang ulama’ terkenal
berasal dari Mesir yang menetap di Jawa Timur. Komite ini ditetapkan berangkat
Bulan Februari 1926 tetapi tidak terlaksana karena kesulitan masalah
keberangkatan yang berdekatan dengan musim haji sedangkan kapal haji sudah
berangkat dan baru berangkat lagi tahun 1927.
Dari sinilah Jam’iyah NU (Nahdlatul Ulama’) dilahirkan di Surabaya
pada Musyawarah Alim Ulama’ tanggal 31 Januari 1926 pada saat itu juga.
Pemberian Nama NU (Nahdlatul Ulama’)
Pelopor atau pencipta nama perkumpulan ini dengan nama Nahdlatul
Ulama’ adalah KH. Mas Alwi Abdul Aziz yang saat itu Kepala Sekolah Nahdlatul
Wathon. Setelah diajukan pada rapat disetujui oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari dan hadirin.
Sebenarnya ada dua orang pengusul nama NU Yaitu :
1.
KH. Mas Alwi Abdul Aziz dengan nama Nahdlatul Ulama’ (Kebangkitan
Ulama’).
2.
KH. Abdul Hamid, sedayu Gersik dengan nama Nuhudul Ulama’ (Akan
Kebangkitan Ulama’)
Sedangkan yang diterima Forum adalah usulan KH. Mas Alwi Abdul
Aziz. Mengenai lambang NU diciptakan oleh KH. Ridlwan Hasbullah dari Surabaya
yang diajukan dalam Muktamar NU Ke II 12 Robi’ul Tsani 1347 H (28 September
1928) dan disetujui Muktamar sebagai lambing jam’iyah Nahdlatul Ulama’.
2. Fase-Fase Perjalanan NU
Secara historis, Greg Barton dan Greg Fealy
(1996) membagi periodesasi NU dalam tiga babak. Babak pertama, 1926-1955
sebagai organisasi sosial keagamaan. Babak kedua, NU telah mentransformasikan
diri sebagai ormas Islam dalam bidang sosial politik dengan menjadi parpol dari
1955 hingga 1984. Babak ketiga, dimulai sejak NU menyatakan diri khitah 1926.
NU kembali menjadi ormas sosial-keagamaan hingga sekarang.
a. NU sebagai Organisasi Sosial Kemasyarakatan (1926-1955)
Setelah kaum tradisionalis terorganisir, maka orientasi-orientasi
yang menjadi acuan mereka tampak lebih jelas, terlebih terhadap kaum imperialis
baik Belanda maupun Jepang. Hal ini dapat disimpulkan dari hasil-hasil muktamar
yang diadakan pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Dengan rasa patriotisme
tinggi mereka mengambil langkah-langkah yang akomodatif namun tegas terhadap imperialism.
Adapun terhadap kaum pembaharu, kaum tradisionalis berhasil mengadakan
rekonsiliasi untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap campur tangan dan
tekanan yang dilakukan oleh kaum penjajah (dalam Martin van Bruinessen, NU Tradisi ,Relasi-Relasi Kuasa,
Pencarian Wacana Baru).
Dibawah ini merupakan sebagian dinamika NU pada masa tahun 1926-1955:
1) Mempelopori perjuangan
kebebasan bermadzhab di Mekah, sehingga umat Islam sedunia bisa menjalankan
ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing.
2) Menghidupkan kembali gerakan
pribumisasi Islam, sebagaimana diwariskan oleh para walisongo dan pendahulunya.
Adapun tradisi yang sangat melekat
dalam ajaran NU seperti yang diajarkan oleh ulama-ulama NU secara turun temurun
dari kitab-kitab kuning sebagai rujukannya, antara lain: talafuz bin niyat
(mengucapkan niat) ketika akan solat, wiridan (membaca rangkaian tahlil, tahmid
dan takbir selepas solat secara bersamaan dengan suara yang dikeraskan),
Marhabanan (membacakan kitab Barzanji – perjalanan sejarah Rasullahl SAW dan
pujian-pujian kepadanya), ziarah kubur, tahlilan (mendoakan orang yang sudah
meninggal) dan membaca solawat nabi.
3) Mempelopori berdirinya Majlis
Islami A'la Indonesia (MIAI) tahun 1937, yang kemudian ikut memperjuangkan
tuntutan Indonesia berparlemen.
4) Pada
masa pendudukan kedua kaum imperialis Inggris, pada pasca kemerdekaan, kaum
tradisional mendapatkan ruang yang agak longgar baik dalam kancah sosial maupun
politik. Bahkan beberapa ketetapan penting negara dari pihak pemerintah banyak
yang meminta saran dari para tokoh NU sehingga secara makro NU ikut berperan
aktif dalam sikap-sikap politik negara. Terlebih, bahwa orang nomor satu di
Indonesia saat itu, Soekarno, memiliki hubungan yang erat dengan tokoh-tokoh
NU. Dan tentunya, dalam dimensi sosial peran NU lebih longgar untuk lebih giat
menggalakkan misi-misi keagamaannya. Hal ini seperti memobilisasi perlawanan fisik terhadap kekuatan imperialis melalui
Resolusi Jihad NU yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945.
b. NU menjadi Partai Politik (1955 - 1984)
Awal
perjalan politik praktis NU diawali pada tahun 1945, ketika bersama-sama
organisasi Islam lainnya membentuk partai yang disebut Masyumi (Majlis Syuro
Muslimin Indonesia) yang diumumkan berdiri tanggal 7 November 1945. NU menjadi
anggota istimewa dan mendapat jatah kursi di Majlis Syuro. Dalam anggaran rumah
tangga Masyumi, peranan Majlis Syuro disebutkan antara lain:
1. Majlis
Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik kepada
pimpinan partai
2. Dalam
soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama maka pimpinan
partai meminta fatwa dari Majlis Syuro
3. Keputusan
Majlis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan partai
4. Jika
Muktamar/Dewan Partai berpendapat lain daripada keputusan Majlis Syuro, maka
pimpinan partai dapat mengirimkan utusn untuk berunding dengan Majlis Syuro dan
hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi
Dengan
melihat anggaran rumah tangga tersebut, NU menganggap posisi Majlis Syuro cukup
strategis. Agaknya hal ini yang membuat NU cukup puas dengan komposisi
kepengurusan yang ada meskipun tak satu anggota NU yang duduk di kursi
eksekutif partai.
Munculnya
Partai Masyumi sebagai satu-satunya wadah aspirasi politik Islam memang mampu
menyatukan kelompok-kelopom Islam yang berbeda paham. Tercata hanya Perti
(Persatuan Tarbiyah Indonesia) yang tidak bersedia bergabung ke dalam Masyumi.
Tetapi persatuan itu sebenarnya tidak berhasil melebur perbedaan visi kegamaan
yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi perpecahan. Keadaan ini diperparah
dengan tidak meratanya distribusi kekuasaan antar kelompok, sehingga
menimbulkan ketidakpuasan. Pada tahun 1947 beberap tokoh SI seperti Arudji
Kartawinata dan Wondoamiseno keluar dari Masyumi dan mendirikan PSII (Partai
Serikat Islam Indonesia). Dan dengan keluarnya PSII hancurlah mitos, Masyumi
sebagai satu-satunya partai Islam.
Dalam
Muktamar Palembang tahun 1952 diputuskan bahwa NU keluar dari Masyumi. Hal ini
disebabkan oleh sikap eksekutif partai yang tidak lagi menganggap Majlis Syuro
sebagai dewan tertinggi. Meskipun secara formal Anggaran Rumah Tangga masih
seperti semula tetapi pada praktiknya Majlis Syuro hanya dijadikan sebagai
dewan penasehat yang keputusannya tidak mengikat, hal mana mengakibatkan
kekecewaan NU dalam Masyumi. Kekecewaan itu juga dipicu oleh persoalan
distribusi kekuasaan. Selama tiga kali pembagian kursi kabinet, NU selalu
mendapat satu jatah, yaitu kursi menteri agama. Hal itu dapat dimaklumi karena
NU memang miskin tenaga ahli yang terampil untuk memimpin suatu kementerian.
Dan hanya menteri agama yang kiranya dapat diandalkan, karena NU merasa
mempunyai tenaga untuk itu, karena itu dalam kabinet Wilopo tahun 1952 NU
menghendaki agar kursi menteri agama tetap menjadi bagiannya. Tetapi sebagian
besar anggota Masyumi tidak menyetujui hak itu, karena NU sudah tiga kali
berturut-turut memegang jabatan menteri agama. Akhirnya melalui keputusan rapat
keinginan NU ditolak dan inilah yang memicu keluarnya NU dari Masyumi.
Setelah
keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik yang berdiri sendiri pada tahun
1952, NU segera disibukkan dengan persiapan pemilihan umum pertama tahun 1955.
Waktu yang dimiliki NU untuk bertarung dalam Pemilu 1955 relatif pendek jika
dbandingkan dengan partai-partai besar lainnya. Namun demikian NU berhasil
meraih 18,4 persen suara (45 kursi) di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI)
yang mendapatkan 22,3 persen suara (57 kursi) dan Masyumi yang memperoleh 20,9
suara (57 kursi).
Dalam
Majlis Konstituante hasil Pemilu 1955, NU dan partai Islam lainnya mempunyai
keinginan yang sama yaitu memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Namun dari
perolehan suara yang ada dapat diduga bahwa koalisi partai-partai Islam tidak
akan mudah mengegolkan cita-cita politiknya. Kekuatan partai Islam bila
dijimpun hanya memperoleh 45,2 persen dan koalisi kelompok nasionalis dan
komunis memperoleh 42,8 persen. Berarti baik kelompok Islam maupun koalisi
kelompok lain tidak ada yang memperoleh 2/3 suara yang dibutuhkan untuk
memenangkan pemungutan suara. Perdebatan mengenai dasar negara akhirnya menemui
jalan buntu dan diselesaikan dengan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang
memutuskan:
1. Pembubaran
konstituante
2. Kembali
ke Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) dan tidak berlakunya undang-undang
sementara 1950
3. Pembentukan
Majlis Permusyawarata Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dalam
dekrit tersebut disebutkan bahwa Piagama Jakarta yang lebih berpihak kepada
kelompok Islam, menjiwai Undang Undang Dasar 1945 dan merupakan satu rangkaian
kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Sebelumnya,
ketika terlihat tanda-tanda akan di berlakukannya UUD 45, NU mengadakan Sidang
Dewan Partai di Cipanas Bogor pada tanggal 26-28 Maret 1958 dan berhasi
merumuskan keputusan sebagai berikut. Dapat menerima UUD 45 sebagai UUD RI
dengan pengertian: a) Piagama Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD tersebut pada
keseluruhannya dan merupakan sumber hukum. b) Islam tetap menjadi perjuangan
partai NU. c) Hasil-hasil Konstituante tetap berlaku.
Setelah
melalui perundingan intensif, empat partai Islam yaitu NU Parmusi, PSII dan
Perti sepakat melakukan fusi yang dituangkan dalam deklarasi tanggal 5 Januari
1973. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa keempat partai Islam telah seia
sekata untuk memfusikan diri politiknya dalam suatu partai politik yang diberi nama
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Segala kegiatan non politik tetap
dikerjakan dan dilaksanakan oraganisasi masing-masing sebagaimana sedia kala.
Fusi
parta-pratai Islam pada awalnya menguntungkan NU, karena fusi itu dilakukan
tatkala NU berhasil memperoleh suara yang jauh di atas partai-partai lain. Pada
pemilu 1971 NU memperoleh 18,4 persen, Parusi 6,3 pesen, PSII 2,3 persen dan
Perti 0,7 persen. Dengan perimbangan suara seperti ini, NU mendapat 58 kursi
atau 61,7 persen dari keseluruhan kursi partai Islam sebanyak 94 kursi.
Meskipun NU memperoleh suara mayoritas namun jabatan ketua umum Dewan Pimpinan
pUsat dipegang orang non NU yaitu HMS Mintaredja dari Parmusi. Sedang NU hanya
mendapat jatah jabatan yang bersifat prestisius belaka.
Selam
berfusi dalam PPP, tercatat NU mengeluarkan pernyataan keras terhadap
pemerintah. Pertama, ketika KH Bisyri Syansuri menolak Rancangan Undang Undang
Perkawinan 1973. Kedua, ketika NU dalam PPP melakukan walk out ketika
sidang hendak memutuskan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dan
masuknya Kepercayaan Terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa ke dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Kalangan PPP, khususnya NU, khawatir menjadi
syirik. Sikap ini dipelopori oleh KH Bisyri Syansuri
Pada
tahun 1975 Dewan Partai PPP mengadakan sidang dengan mengambil keputusan yang
dikenal dengan “konsensus 1975”. Dalam konsensus 1975 disepakati distribusi
kekuatan antar unsur partai sesuai dengan perimbangan yang dihasilkan dalam
pemilu 1971. Tetapi ketika PPP dalam pemilu 1977 mendapat tambahan 5 kursi
justru jatah NU dikurangi dua. Sementara Parmusi mendapat tambahan 1 kursi, SI
4 kursi dan Perti 2 Kursi. Dan perimbangan suara PPP setelah Pemilu 1977 adalah
NU 56, Parmusi 25, SI 14 dan Perti 4 kursi.
Menjelang
Pemilu 1982 Parmusi menuntut perubahan perimbangan suara dengan mengurangi
dominasi NU di PPP. Parmusi menghendaki perimbangan itu menjadi NU 49, parmusi
30, SI 15 dan Perti 5. Dengan asumsi hasil Pemilu sama dengan sebelumnya, 49
suara tidak akan mencapai 50 persen. Tuntutan ini tentu saja tidak dapat
diterima NU. akhirnya terjadi konflik antara NU dan unsur-unsur lain, terutama
Parmusi. Dengan dukungan pejabat pemerintah, Parmusi berhasil mengurangi
kekuatan NU. pada Pemilu 1982 kurang lebih 29 tokoh NU tergusur dari nominasi
calon terpilih mewakili PPP. Peristiwa ini tentu mengecewakan NU dan kemudian
memunculkan gagasan untuk meninjau kembali status dan eksistensi NU di PPP yang
sebenarnya sudah lama dipertimbangkan oleh beberapa kalangan dalam NU.
c. Khittoh NU (1984 - sekarang)
Gagasan
untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial kegamaan telah muncul sejak
Muktamar ke-23 tahun 1962 di Solo. Ada dua alternatif yang ditawarkan pada
waktu itu untuk mengembalikan NU sebagai organisasi soaial keagamaan. Pertama, mengembalikan
NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan menyerahkan kepada politisi NU untuk
membentuk wadah baru sebagai partai politik yang menggantikan kedudukan NU.
kedua, membentuk semacam biro politik dalam NU. Biro ini berada dalam struktur
NU yang mengurusi soal-soal politik. Sedang NU sendiri sebagai organisasi
sosial keagamaan bukan sebagai partai politik. Namun gagasan ini tidak mendapat
tanggapan peserta Muktamar.
Dalam
Muktamar 1971 di Surabaya gagasan itu kembali muncul dan kembali terkubur oleh
ketegangan pemilihan ketua Umum yang terasa sangat ketat antara KH Idham Chalid
dan HM. Subhan ZE. Bahkan Muktamar akhirnya memutuskan:
1. Mempertahankan
eksistensi dan struktur partai NU seperti adanya sekarang ini
2. Mempertimbangkan
gagasan wadah baru yang non politik untuk menampung dan membimbing aspirasi
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di kalangan ummat, yang oleh
karena pekerjaannya atau faktor lain harus meninggalkan ikatan-ikatan
politiknya dengan partai politik
Baru pada tahun 1984 sebagai tonggak sejarah baru
NU dalam berkhidmat kepada bangsa dan negara. Kembalinya NU pada tujuan awal
berdirinya yaitu sebagai aktivitas sosial keagamaan, atau lebih dikenal dengan
kembali ke khittah 1926. Peristiwa ini dihasilkan pada Muktamar 1984 di
Situbondo. Ide kembali ke khittah ini, dicetuskan oleh tokoh muda NU yakni, KH.
Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan KH. Ahmad Sidiq. Sejak kembali khittah, banyak
bermunculan gagasan-gagasan segar dalam pembaruan hukum Islam (baca: fiqih) di
kalangan NU. Menurut Clifford Geertz, Fikih bukanlah lembaga permanen yang
bersifat sakral, tetapi fikih merupakan suatu produk peradaban (civilization
product). Dengan begitu pemikiran fikih tidak lagi terkukung dengan rujukan
teks (qauli) tetapi diimbangi dengan pembongkaran (dekonstruksi) dan
kontekstual.
d. NU pada Masa Reformasi (1999 - sekarang)
Setelah berkuasa lebih dari 30 tahun,
Soeharto akhirnya turun dari kursi kepresidenan. Deregulasi undang-undang politik dilakukan.
NU membentuk PKB. Sulit rasanya memisahkan garis demarkasi Islam dengan
kegiatan politik secara tepat. Hal ini yang menjadi salah satu sebab mengapa NU
mengalami tiga kali metamorfosis antara ormas sosial-keagamaan dan orsospol.
Padahal kalau mau melihat latar belakang pendiriannya, basis epistimologis
keagamaan NU lebih memfokus pada model Islam sufisme. Islam yang menekankan pada aspek Islam etik.
Islam sebagai kekuatan sosio-kultural dalam mengontrol jalannya lembaga
kenegaraan. Jadi, Islam tidak menjadi bagian dari kekuatan politik praktis yang
berorientasi pada kekuasaan, kedudukan tetapi justru sebagai kekuatan oposisi
(Munir Mulkhan, 2001).
NU kembali menjadi ormas sosial-keagamaan, ke
jati dirinya yang asli melalui keputusan Muktamar Situbondo sampai sekarang.
Gus Dur terpilih menjadi presiden pada tahun 1999 saat runtuhnya Orde Baru
menuju Reformasi. Dari sini NU mulai semakin intens terlibat dalam politik
praktis kenegaraan. Mobilisasi massa NU terjadi secara besar-besaran dalam
momentum istighotsah maupun demonstrasi. Diakui atau tidak, sosialisasi khitah
belumlah maksimal dipahami oleh warga nahdliyin. Masih ada kecintaan, pembelaan
yang berlebihan terhadap partai tententu daripada kepada NU sebagai jamiyyah
agamanya. Sebab lain, ulah oknum yang
mempolitisasi warga untuk mempertahankan dukungan kepada partai dengan menjual
agama. Di sisi lain, khitah NU telah banyak mengubah kesan dari organisasi
tradisional, ortodok, konservatif, feodal menjadi organisasi yang lebih modern,
dinamis, dan demokratis. Wacana pembaharuan bidang sosio-kultural, agama telah
tersemai dengan baik di kalangan anak-anak muda NU melalui kelompok-kelompok
studi. Tumbuh pengakuan bahwa wacana di tingkat anak-anak muda NU tak kalah
progresif, berani dalam merespons isu-isu aktual sosial kemasyarakatan. Hasil
yang melegakan itu jangan sampai berhenti di tengah tarikan kekuatan politik
praktis kontemporer saat ini. NU harus tetap konsisten menterjemahkan makna
khitah secara komprehensif dan holistik kepada masyarakat. Ke depan harus
ditegaskan tugas berat NU lebih menitikberatkan bidang pendidikan, dakwah,
advokasi, pemberdayaan sosial ekonomi warga menuju masyarakat sipil. Sejauh mungkin NU harus mengambil jarak
dengan kekuasaan. Menjaga jarak dengan kekuasaan bukan berarti antikekuasaan.
NU justru harus ikut membangun pilar kekuasaan demokratis melalui proses
pencerdasan spiritual, intelektual, dan emosional kader-kadernya pada lembaga
pendidikan formal, informal agar lahir negara yang kuat dan adil. Saat kader NU menduduki kekuasaan, harus
dipelihara sejauh mungkin peran kritis-organisatoris NU terhadap kekuasaan
dalam kerangka membangun clean goverment. NU mesti menjadi bagian
penting diskursus moral, kultural, intelektual dalam pencerahan warga bangsa
bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya. Dengan meretas generasi baru yang memiliki
bekal ilmu, pengetahuan, wawasan dan rasa nasionalisme ke-Indonesiaa-an. NU juga
harus menjadi daya suluh demokrasi, hak asasi, kesetaraan jender, dalam
kerangka kepentingan yang universal, lintas agama, etnis, budaya, bangsa tanpa
terjebak dalam jerat politik praktis. Untuk merealisasi tujuan ideal itu, harus
melakukan langkah dan strategi sebagai berikut. Pertama, harus mampu menjaga
independensinya dengan partai politik.
Kedua, kasus rangkap jabatan kader di NU dan partai politik harus
dihindari tanpa kecuali, karena hanya akan mempersulit kinerja NU sebagai
organisasi. Ketiga, NU harus menjadi orang tua yang bijak, mampu mengayomi dan
menyantuni semua kadernya di berbagai partai politik.
NU harus mampu menjadi payung bagi semua
tanpa melihat partainya. Toh, NU sudah sepakat dengan motto "NU tidak ke
mana-mana tetapi ada di mana-mana".
Dan yang paling fundamental, misi khitah akan terlaksana dengan baik
dengan misi NU yaitu mewujudkan masyarakat sipil berkeadilan dan demokratis.
3. Perangkat Organisasi
Nahdlotul Ulama’
Perangkat organisasi Nahdlotul Ulama’ menurut
hasil Muktamar XXI di solo terdiri atas:
a.
Lembaga
Adalah perangkat departemen organisasi
Nahdlotul Ulama’ yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlotul Ulama’,
khususnya yang berkaitan dengan bidang tertentu. Lembaga-lembaga tersebut adalah:
1) Lembaga Dakwah Nahdlotul
Ulama’(LDNU) bertuigas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ dibidang
penyiaran agama islam Ahlussunah Wal Jama’ah,
2) Lembaga pendidikan Ma’arif
Nahdlotul Ulama’ (LP.MA”ARIF.NU) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul
Ulama’ dibidang pendidikan dan pengajaran, baik formal maupun non formal selain
pondok pesantren,
3) Lembaga Sosial Mabarot
Nahdlotul Ulama’ (LS MABAROT NU) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul
Ulama’ di bidang social dan kesehatan,
4) Lembaga Perekonomian
Nahdlotul Ulama’ (LP. NU) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di
bidang pengembangan ekonomi warga Nahdlotul Ulama’,
5) Robithoh Ma’had (RMI)
bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang pengembangan pondok
pesantren,
6) Lembaga Kemasyarakatan
Keluarga Nahdlotul Ulama’ (LKKNU) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul
Ulama’ di bidang kemaslahatan keluarga, kependidikan dan lingkungan hidup,
7) Haiah Ta’mirtil Masjid
Indonesia (HTMI) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang
pengembangan dan kemakmuran,
8) Lembaga kajian dan
pengembangan sumber daya manusia (LAKPESDAM) bertugas melaksanakan kebijakan
Nahdlotul Ulama’ dalam bidang kajian dan pengembangan sumber daya manusia,
9) Lembaga Seni Budaya Nahdlotul
Ulama’ (LESBUMI NU) bertugas melajsanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang
seni dan budaya selain seni hadrah,
10) Lembaga Pengembangan Tenaga
Kerja Nahdlotul Ulama’ (LPTK NU) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul
Ulama’ di bidang pengembangan ketenaga kerjaan,
11) Lembaga Penyuluhan dan
Bantuan Hukum Nahdlotul Ulama’ (LPBH NU) bertugas melaksanakan kebijakan
Nahdlotul Ulama’ di bidang Penyuluhan dan bantuan hokum,
12) Jamiatul Quro’wal hiuffad
bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang pengembangan seni
baca dan metode pengajaran dan hafalan Al Qur’an.
b.
Lajnah
Adalah perangkat organisasi Nahdlotul Ulama’
untuk melaksanakan program Nahdlotul Ulama’ yang memerlukan penanganan khusus.
1)
Lajnah Falaqiyah bertugas mengurus masalah hisab dan ru’yah,
2)
Lajnah Ta’lif Wanafsir bertugas di bidang penerjemahan, penyusunan
dan penyebaran kitab-kitab menurut faham Ahlussunah Wal Jama’ah,
3)
Lajnah Auqof bertugas menghimpun dan mengelola tanah serta bangunan
yang diwakafkan kepada Nahdlotul Ulama’,
4)
Lajnah Waqof Infaq dan Shodaqoh bertugas menghimpun, mengelola dan
mentasarufkan zakat, infaq, dan shodaqoh,
5)
Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, bertugas menghimpun, membahas dan
memecahkan masalah maudzuiyah dan waqiiyah yang harus segera mendapat kepastian
hokum.
c.
Badan Otonom
Adalah perangkat organisasi Nahdlotul Ulama’
yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlotul ULlama’, khususnya
yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu yang beranggotakan
perseorangan.
1)
Jam’iyah ahli thoriqoh Muhammad SAW tabaroh annahdiyah, dalam badan
otonom yang menghimpun pengikut aliran thoriqoh yang Mukhtabar di lingkungan
Nahdlotul Ulama’.
2)
Muslimat Nahdlotul Ulama’ (Mulimat NU) menghimpun anggota perenpuan
Nahdlotul Ulama’.
3)
Fatayat Nahdlotul Ulama’ (Fatayat NU) menghimpun anggota perempuan
muda Nahdlotul Ulama’.
4)
Gerakan Pemuda Ansor (GP ANSOR) menghimpun anggota pemuda Nahdlotul
Ulama’
5)
Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama’ (IPNU) menghimpun pelajar, santri,
dan mahasiswa laki-laki.
6)
Ikatan Pelajar Putri Nahdlotul Ulama’ (IPPNU) menghimpun pelajar,
santri dan mahasiswa perempuan.
7)
Ikatan Sarjana Nahdlotul Ulama’ (ISNU) menghimpun para sarjana dan
kaum intelektual di kalangan Nahdlotul Ulama’.
8)
Pagar
Nusa menghimpun para anggota Nahdlotul Ulama’ yang suka dalam bidang beladiru
pencak silat.
4.
Tradisi
Amaliyah Orang NU
a. Bidang ibadah :
1)
attalaffudz
binniyyah kala sholat
2)
mengangkat
tangan sejajar dengan telinga kala takbiratul ihram
3)
menaruh
tangan antara perut dan dada kala sholat
4)
membaca
fatihah kala jadi ma`mum.
5)
membaca
qunut subuh
6)
dzikir
jama`i dengan mengeraskan suara setelah selesai sholat lalu disambung dengan
berdoa bersama.
7)
sholat
tarawih dan witir 23 rakaat.
b.
Penghormatan
kepada nabi:
1)
muludan
2)
sholawatan
3)
menyertakan
“sayyidina” ketika bersholawat.
c.
Penghormatan
terhadap jenazah :
1)
tahlilan
2)
ziarah
kubur
3)
talqin
4)
tawassul
Post a Comment