Menyegarkan Kembali Islam Nusantara
Oleh: Ayub Al Ansori *)
Akhir-akhir ini terjadi polemik yang cukup
mengejutkan terkait istilah “Islam Nusantara”. Islam Nusantara menjadi terkenal
berkat penamaannya pada tema besar Muktamar NU ke 33 di Jombang pada 1 – 5
Agustus yang akan datang yakni Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban
Indonesia dan Dunia. Namun tidak sedikit yang menyoal penggunaan Islam
Nusantara itu sendiri sehingga cukup mengejutkan penulis. Istilah Islam
Nusantara atau Islam Nusantara itu sendiri bagi sebagian orang dituduh merupakan
“titipan” Liberalisme. Islam Nusantara sebagai proyek
liberalisasi alias pesanan asing, bercorak sinkretik, tidak laku di basis kaum
modernis dan terlalu Jawa sentris. Begitu tanggapan kritik atas Islam Nusantara/Indonesia yang sedang
digaungkan di Indonesia khususnya oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Tulisan ini hendak menyegarkan kembali Islam
Nusantara yang sudah banyak sekali ditulis oleh Kiai, Akademisi, Budayawan,
Politisi, Santri dan Mahasiswa diberbagai media baik cetak maupun online. Bagi
penulis betapa penting kita memahami Islam Nusantara sehingga tidak lantas
mudah menuduh negative seperti kita baca pada tulisan-tulisan yang memang
kontra terhadap Islam Nusantara, terutama di media online.
Memahami Islam Nusantara ini penting di tengah tercerabutnya
identitas keislaman Indonesia yang menggiring sebagian Muslim menempuh lajur
radikalisme yang
mengarah pada terorisme. Di kalangan nahdliyin (wong NU), tema Islam Nusantara menandai perkembangan
terkini dari pemikiran NU. Dulu pada zaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kita mengenal ide Pribumisasi
Islam. Intinya, Islam sebagai agama universal harus
dibumikan ke dalam budaya lokal. Ini dilakukan agar Muslim Indonesia bisa
beragama sesuai dengan budaya Indonesia. "Kita ambil nilai Islam, kita
saring budaya Arab-nya",
demikian Gus Dur menegaskan.
Menurut KH.
Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU, Islam yang moderat, toleran, dan berwajah
ramah, merupakan manifestasi gagasan dari Islam Nusantara. Beliau melanjutkan
bahwa Islam Nusantara merupakan pertemuan Islam dengan adat dan tradisi
Nusantara yang membentuk system sosial, lembaga pendidikan (seperti Pesantren).
Dengan demikian tradisi itulah yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara,
yaitu Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya nusantara.
Senada juga
disampaikan KH. Afifuddin Muhajir, Katib Syuriah PBNU, bahwa Islam Nusantara
merupakan paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil
dialektika antara teks syariat (Nushusush Syari’ah) dengan realita dan
budaya setempat.
Islam
Nusantara tidak hanya terbatas pada sejarah atau lokalitas Islam di tanah Jawa.
Lebih dari itu, Islam Nusantara sebagai manhaj atau model beragama yang harus
senantiasa diperjuangkan untuk masa depan peradaban Indoensia dan dunia. Islam
Nusantara adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu member solusi
terhadap masalah-masalah besar bangsa dan Negara (Ahmad Baso: 2015).
Salah satu
dari masterpiece Islam Nusantara adalah tegaknya NKRI dan Pancasila. Dalam
pandangan Islam Nusantara, Indoensia adalah Darussalaam dan pancasila merupakan
intisari dari ajaran Islam Ahlussunnah Wal jama”ah. Karenanya, mempertahankan
NKRI dan mengamalkan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia
untuk menjalankan syari’at Islam (Zainul Milal Bizawie: 2014).
Dengan melihat beberapa pendapat diatas, ada
beberapa hal yang mesti kita ketahui untuk menyegarkan pemahaman kita akan
Islam Nusantara. Pertama, Islam agama untuk manusia. Islam adalah agama yang
Allah turunkan untuk manusia, bukan malaikat. Karena itu, Islam mesti berpijak
di bumi. Ia mesti bersentuhan dengan budaya dan kondisi sosial manusia. Mengakar
dengan persoalan masyarakat. Nabi Muhammad diutus Allah untuk dakwah kultural
sesuai dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat.
Allah menegaskan dalam Al-Quran: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun
melainkan dengan lisan kaumnya (bi lisani qaumihi) supaya ia memberi
penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. Ibrahim [14]: 4). Bagi sebagian
ulama, lisan itu lebih luas dari bahasa (bi lughati qaumihi). Mencakup
di dalamnya budaya, adat-istiadat, tradisi, dan peri kehidupan manusia itu
sendiri.
Nilai dan keagungan Islam takkan luntur hanya cuma karena bersentuhan
dengan budaya manusia. Alih-alih luntur, Islam itu sangat lentur. Kelenturan
itu yang kian meneguhkan bahwa Islam itu rahmat bagi semua (rahmatan lil
‘alamin). Karena itu, Islam itu selalu relevan di tiap ruang dan waktu. Tak
lekang waktu dan cocok di segala tempat (shalihun li kulli zaman wa makan(.
Kedua, Islam hanya milik Allah. Hanya Allah pemilik
kebenaran hakiki. Hanya Dia yang paling tahu mana Islam yang murni. Hanya Allah
yang paling berhak untuk menentukan mana Islam yang murni dan benar. Tak ada jaminan bahwa
Islam yang dijalankan di Arab lebih murni ketimbang Islam di belahan dunia
lain. Termasuk Islam Nusantara. Islam itu satu. Secara
akidah umat Islam di seluruh dunia seragam. Karena itu pembedaan Islam Nusantara
bukan dalam hal teologis. Tapi dalam konteks sosiologis. Ajaran universalnya
sama, tapi wajah tampilannya yang berbeda.
Ketiga, Islam bukan hanya milik Arab. Islam bukan hanya untuk
orang Arab, tapi untuk seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).
Semua di hadapan Allah setara. Baik Islam orang Arab maupun Islamnya masyarakat
Nusantara. Dengan begitu, Islam Nusantara bukan pinggiran. Kedudukannya setara.
Islam memang tumbuh dan berkembang di jazirah Arab. Nabi telah membangun
fondasi masyarakat beradab di sana, khususnya di Madinah. Tapi perkembangan
Islam kemudian, yang disebut-sebut masa kejayaan/keemasan dan peradaban Islam,
malah terjadi di daerah lain seperti Andalusia, Spanyol, dan daerah Eropa lainnya. Dengan begitu, Islam Nusantara punya potensi yang sama dengan wilayah
lain untuk mengembangkan peradaban Islam di masa mendatang.
Keempat, Akulturasi Budaya hasilkan peradaban. Masa keemasan Islam
yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan tak dapat disangkal
hasil akulturasi antara ajaran Islam dan budaya filsafat Yunani. Alih-alih
menghancurkan Islam, akulturasi budaya itu menghasilkan peradaban Islam yang
luhung.
Berbagai ranah ilmu pengetahuan berkembang pesat. Mulai dari filsafat, tafsir, psikologi,
kedokteran, astronomi, arsitektur, matematika, geologi, dan lain sebagainya. Perkembangan berbagai
ranah ilmu pengetahuan yang dikembangkan para filsuf dan ilmuwan muslim itu
kemudian jadi referensi sekaligus inspirasi dunia. Bahkan peradaban Barat kini
“berhutang” pada peradaban Islam kala itu.
Kelima, Manifestasi “Negara” Madinah. Islam Nusantara adalah manifestasi dari apa yang Nabi Muhammad lakukan di Madinah. Di “negara” Madinah itu
Rasulullah membuat kontrak sosial yang berbentuk Piagam Madinah. Bukan hanya
dengan umatnya sendiri, tapi juga dengan kalangan Yahudi dan Nasrani. Di
Nusantara/Indonesia, Piagam Madinah itu berwujud Pancasila.
Sebagai payung hukum, Piagam Madinah dan Pancasila melindungi warganya
secara setara dan tanpa diskriminasi. Tanpa memandang ras, etnis, dan agama.
Sebagaimana juga di Madinah, tiap warga negara wajib berpartisipasi dalam
menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kecintaan pada bangsa
dan negara tak mengurangi sekecil pun kecintaan kita pada Islam. Bahkan
mempertahankan NKRI dan mengamalkan Pancasila merupakan realisasi dari ibadah
umat Islam Indonesia.
Keenam, Islam Nusantara itu Rahmat. Umat Islam Indonesia
atau Nusantara dikenal sebagai masyarakat yang terbuka, moderat, toleran,
rukun, dan harmonis. Ramah, cinta damai, terbiasa serta berpengalaman dengan
menggelola perbedaan, dan suka dialog serta gotong royong. Tentu masih banyak
yang bolong di sana-sini, tapi secara keseluruhan semua itu berjalan relatif
baik.
Dalam Islam, perbedaan itu rahmat. Islam sebagai rahmat (rahmatan lil
‘alamin) bagi semesta raya begitu kentara di sini. Karena itu ekstremisme
dan terorisme selain bertentangan dengan kultur Nusantara juga tak laku di
sini. Esktrimisme hanya akan menimbulkan disharmoni bahkan chaos.
Ketujuh, Hilangkan Islamophobia. Dengan karakteristik seperti
di atas, Islam Nusantara akan mampu mengikis sedikit demi sedikit fobia
masyarakat Barat dan umat non-muslim kepada Islam. Kecurigaan dan prototipe
terhadap Islam yang sangar lambat laun akan menghilang.
Sebagai gantinya, masyarakat Barat dan umat non-muslim mengenal Islam
secara lebih jelas dan jernih. Dan terbangun dialog yang sehat. Dakwah model
ini tentu lebih efektif ketimbang dengan kekerasan.
Berbagai harapan itu tentu punya landasan yang menopangnya. Di antaranya,
seperti yang sudah disebutkan di atas. Dengan demikian Islam Nusantara patut
kita dukung. Selain kita punya landasan dan perangkat kukuh untuk
mengembangkannya, Islam Nusantara bisa menjadi model alternatif di tengah
gejolak instabilitas politik dan kecamuk konflik serta perang di beberapa
negara berbasis Islam.
Seperti kata pendiri NU, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asyari,
ikhtiar menghadirkan Islam Nusantara di tengah masyarakat dunia pada prinsipnya
upaya mewujudkan tata dunia yang kondusif bagi persemaian keadilan,
perlindungan hak, perbaikan kualitas hidup, dan kemakmuran masyarakat.
*) Penulis adalah Santri Pondok Kebon Jambu Al
Islamy Pesantren Babakan Ciwaringin. Tulisan pernah dimuat dalam Harian Umum Kabar Cirebon tahun 2015.
Post a Comment