Di Balik Kedua Matanya, Ku temui Kisah

karya  : Neneng Alfiah

Sudah kesekian kali, kesekian hari, aku melihat sosok pemuda berkelebat di hadapanku.
Hari pertama, ku coba hentikan langkahnya dengan sepuluk salam.
Namun, ia terus berlalu tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.

Hari kedua, terlihat ia yang sedang diam-diam mencoba mendekatiku dari kejauhan.
Namun, setelah ku tengok lagi-lagi ia menghilang bersama berlalunya rintikan hujan.

Hari ketiga, ku dapati seekor ular besar berusaha mengejarku, di situ aku benar-benar dililit rasa takut yang begitu memprihatinkan.
Namun, tiba-tiba sosok pemuda itu kembali datang, menolongku dari marabahaya yang mencekam. Ketika hendak ku ucap terimakasih, lagi-lagi ia segera beranjak pergi. Saat itu aku sempat tertegun, ketika berhasil ku tangkap sorot matanya yang memandangku sebentar.
Aku bergumam,  “Aku yakin, sepasang mata itu tidak asing, tatapannya sangat ku kenal. Tapi, siapakah gerangan? Ah, sial..!!! Siapa sebenarnya pemuda itu? Sungguh aku dibuatnya penasaran.”
Semenjak itu, aku mulai memikirkannya di setiap permenunganku. Mengaguminya di setiap diamku.
Seraya tersenyum kecil ketika teringat babak demi babak pertemuan yang ku lalui dengan pemuda itu, yang entah tak ku kenali namanya.
Jangankan namanya, gurat wajahnya seperti apa, aku pun tak mengetahuinya. Sebab, wajahnya ditutupi dengan ikat kain, semacam shall berwarna biru bening. Karena aku tak tahu, akhirnya ku sebut saja ia “My Hero”, pahlawanku.

Hari keempat, aku mendengar sebuah berita kematian.
Dag.. Dig.. Dug..!!! Tiba-tiba degup jantungku berdetak sangat kencang.
“Ada apa ini? Kenapa begini?”.
Lalu, ku coba tanyakan kepada seorang temanku tentang kabar kematian itu. Dia pun menjawab hanya tiga kata. Dan apa kau tau tiga kata itu?
Ya, tiga kata itu adalah sebuah nama. Nama yang sangat ku kenal. Nama yang pernah bertengger di hatiku, nama yang pernah mencintaiku, menjadi kekasihku. Sontak, aku terkejut setengah mati. Tangisku pecah berderai membasahi pipi. Sungguh, sedih yang begitu tak terperi.
Mungkin aku tak seharusnya aku menangisinya, ia yang pernah menyakitiku dan meninggalkanku sesuka hatinya.
Namun, mendengar kabar kematiannya itu, serasa seisi dunia runtuh di pundakku. Walau bagaimana pun ia yang pernah mengisi hari-hariku, menjadi bagian dari semangat hidupku, meski memang teramat singkat ia bersamaku, yang ku tahu ia adalah laki-laki yang berjiwa sosial tinggi, berobsesi dan penuh ambisi.

Perlahan, ku coba kuatkan hati. Ku telpon temanku untuk bersama melayat ke rumahnya. Ternyata temanku sudah di kediaman tempat yang berbela sungkawa. Lalu, aku pun berusaha menyusul seorang diri. Dengan tertatih ku lampahkan kaki, akhirnya sampailah aku di gerbang pintu rumahnya.
Ku lihat sehelai bendera kuning melambai seolah menyambut kedatanganku,  berbondong orang di sekitarku, bacaan yasin yang ramai terdengar di telingaku. Aku pun tak kuasa menahan tangis, seketika aku terjatuh lemas histeris. Pandanganku kosong, meratapi kepergiannya. Antara percaya dan tidak atas kematiannya. Lalu, ku lempar pandang ke atas langit, aku membathin dalam diri,

“Tak ku sangka secepat ini kau pergi menghadap-Nya. Mungkin Tuhan terlalu sayang padamu. Ya, hidup memang tak lebih dari sebuah penantian; menanti dan dinanti. Tuhan menanti, kita dinanti. Kita menanti, Tuhan dinanti. Menunggu sapaan Tuhan, satu-satu menuju ke pangkuan-Nya bergiliran. Karena ini bulan suci Ramadhan, hari ke-20 yaitu hari pengampunan, semoga kau tenang dan padamu Allah sayang.”

Ku coba bangun dari jatuh-sungkurku, aku beranikan masuk ke dalam rumah, di sana ku lihat sosok laki-laki yang terbujur kaku diselimuti kain.
Terlihat wajahnya yang begitu dingin. Matanya terpejam, teduh sekali. Lamat-lamat ku tatap wajahnya, aku terperanjak, melihat matanya mengingatkanku dengan seorang pemuda yang menolongku tempo itu. Ya, matanya, kelopak matanya, bulu matanya, itu mata my hero, pahlawanku. Ah, apa mungkin my hero ku itu adalah mantan kekasihku sendiri? Apa mungkin yang menolongku saat itu adalah kamu?
Ku temui di sisi kanannya seutas kain, berwarna biru bening. Persis seperti yang ku lihat pada penutup wajah yang dipakai pemuda itu.
Perasaan yang tak begitu karuan semakin berkecamuk dalam diri ini. Aku benar-benar terpukul. Dua manusia yang ku sangka berbeda, ternyata hakikatnya adalah kamu, orang yang pernah menjadi pangeran kodokku.
Aku pun memeluknya dengan tangis yang tersedu-sedu. Aku berbisik di telinganya; “Meski pernah kau sakiti aku, namun jauh sebelum itu maafku untukmu telah mendahului sakitku. Semoga kau damai disisi Allah, sayang.”

Deg.....!!!! Aku terbangun dari tidur, pipiku aku cubit, rasanya sakit. Ternyata semua ini hanya sebatas mimpi.
Namun, mimpi ini seperti benar-benar nyata terjadi. Belum percaya, aku langsung mengambil handphone ku, memastikan bahwa semuanya benar-benar hanya mimpi. Ku buka percakapan aku dengan dia di media sosial facebook, “Mana? Belum invite kok?”  katamu.
“Lho? Kok bisa? Aku udah beberapa kali invite bbm kamu kok. Namaku Seribu Mawar.” Dan... seterusnya.
"Fiuh....". Aku menghela nafas panjang. Aku pun merasa lega dan tenang. Ternyata ini benar-benar sebatas mimpi.
Aku berkelakar dan berlayar dalam sebabak mimpi. Ya, setidaknya aku tahu kamu masih ada di muka bumi ini. Dan kamu belum pergi.

Aku dan kamu memang pernah memiliki kisah, kisah yang begitu singkat dan teramat cepat. Tapi, aku tak ingin menyesali itu.
Keputusanmu menuntaskan kisah-kasih kita ini sudah benar. Aku paham, aku mengerti apa yang kau fikirkan.
Tenang saja, Tuhanlah yang berkehendak untuk membentangkan setiap jalan, mungkin jalanku dan jalanmu berdampingan bukan untuk berpasangan, melainkan untuk menjadi teman yang bisa saling mengingatkan, berbagi kisah dan berbagi pengalaman. Alur cerita dalam skenario Tuhan selalu baik dan sangat bijaksana. Aku selalu mengingatkan diriku sendiri setiap berduka, “jangan menangis, tersenyumlah.. Allah selalu menyerta.”  :)


Neneng Alfiah
Cirebon, 07.07.15 / 20 Ramadhan
Labels:

Post a Comment

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.