April 2016



Marni, Perempuan Pengemis
Oleh Rini Luthfiyani*)

Namaku Marni, aku terlahir dari seorang janda miskin yang pindah dari kampung ke Jakarta. Ayah dan ibuku telah lama berpisah, karena ayah sering kasar terhadap ibu, aku, dan Nia, adikku. Sekarang ayah lebih memilih kawin lagi dengan janda kaya di kampungku, sampai ia tega mengusir kami. Ayah pun lantas, menjual rumah dan tanah yang kami miliki. Dan kini, kami pun tak punya apa-apa lagi.
Karena bingung kami akan tinggal dimana, ibu pun memutuskan untuk pindah dan memboyong kami ke Jakarta. Awalnya, ibu mengira bahwa dengan pindah ke Jakarta, kami bisa hidup layak dan lebih baik lagi. Tapi nyatanya, hidup kami di Jakarta jauh lebih buruk ketimbang saat kami di kampung dulu. Wajar saja, jika kerasnya kota metropolitan ini menjadikan aku, ibu, dan adikku semakin menderita.
Padahal, sebelumnya aku punya mimpi, aku ingin bersekolah tinggi, bahkan punya tekad kuat jika suatu saat Allah memperkenankan aku mengemis ilmu di pesantren, di rumah ilmu keagungan-Mu. Ah, entahlah! Mungkin itu hanya mimpi. Karena saat ini, akibat keluargaku diusir ayah, aku putus sekolah.
Hari demi hari, kami lewati hidup dengan peluh keringat yang menetes hanya demi sesuap nasi. Kami hanya tinggal di sebuah gubuk reyot, kotor, kumel, beratap papan, beralas kardus, dan koran bekas. Sehari-hari ibuku bekerja sebagai tukang cuci keliling, ia menawarkan jasa ke sana-ke mari, dari satu rumah ke rumah yang lain. Ibu berangkat kerja dari pagi hingga petang. Sementara, aku yang hanya menganggur, tinggal di rumah, hanya bisa diam, meskipun kerap merasa kasihan pada ibu. Ibu rela bekerja keras sedemikian gigih hanya untuk menghidupi kami, kedua anaknya. Bahkan, ibu sampai melarang kami untuk ikut bekerja, dan sekedar membantu meringankan pun jangan. Kelamaan, semakin aku tak tahan melihat ibu terus-menerus bekerja tanpa lelah saban hari. Makanya, aku bertekad mulai sekarang aku harus bekerja, tak peduli apapun itu pekerjaannya. “Ya, aku harus bekerja, agar aku bisa mendapatkan uang untuk ibu dan adikku”, gumamku dalam hati.
Pagi saat itu, ibu sudah pergi berangkat kerja, akupun tak ambil diam, langsung bergegas untuk berikhtiar mencari pekerjaan. Saat kumelangkahkan kaki dan mulai beranjak pergi, adikku yang kala itu masih nyenyak tertidur, terbangun. Ia melangkah mendekatiku, “Kak, kakak mau kemana, bukankah ibu bilang kita nggak boleh pergi kemana-mana?”, ucap Nia kepadaku. Akupun tersenyum, “De, sekarang kakak ingin cari kerja, kakak ingin membantu ibu, kakak sudah nggak tahan melihat ibu bekerja sendirian”, jawabku sambil mengelus rambut adikku, meyakinkan.
“Bukankah ibu melarang kita untuk bekerja kak?”, tanyanya lagi dengan heran. Aku yang sebetulnya masih ragu, menghela nafas panjang dan menatap lekat wajah adikku. “De, keputusan kakak sudah bulat, karena itu tolong ya jangan kasih tahu ibu, kalau kakak sekarang ingin bekerja!”. Adikku mengangguk. “Ya sudah, kakak pergi dulu, kamu baik-baik di rumah, cepat kamu mandi dan sarapan”, anjurku sembari mengecup kening adik, lantas pergi meninggalkannya, sambil ia menatapku di ambang pintu.
Kuselusuri jalan dengan langkah tergopoh, hingga sampai di sebuah pasar. Di suasana pasar yang begitu ramai, aku melihat seorang anak yang bila kutaksir, ia seumuran denganku. Ia membawakan keranjang belanjaan ibu-ibu menuju mobil angkutan. Setelah sampai mengantarkan, ibu-ibu itu pun lantas memberikan beberapa lembar uang untuk anak yang telah membantunya barusan. Akupun menerka-nerka, bahwa dia bekerja dengan menawarkan jasa angkut barang belanjaan.
Tanpa pikir panjang, akupun sigap menoleh dan berlari ke arah ibu-ibu yang tengah kerepotan di ujung jalan sana. Akupun sampai menghampirinya, “Ada yang bisa saya bantu?”, tawarku dengan ramah. “Bisakah kamu bantu bawakan belanjaan ibu sampai ke ujung sebrang sana, nak?, timpal sang ibu, sambil menunjukkan sebrang ujung jalan yang dituju. “Bisa, bisa bu”, jawabku girang. Akupun berjalan tergopoh dengan seabrek barang belanjaan. “Alhamdulillah, akhirnya sampai juga”, gumamku dalam hati.
Tak berselang lama, sesampainya di sebrang jalan yang dituju, si ibu pun memberikan tiga lembar uang ribuan untukku, aku pun menerimanya dengan santun, “Terimakasih banyak ya bu!”, ucapku pada si ibu. Kami pun saling berangguk kepala dan berbalas senyum.
Panas matahari semakin menyengat, aku yang dari tadi menunggu, mulai jenuh menanti ibu-ibu lain yang mau dibawakan barang belanjaannya. Bahkan kerap kali, aku sudah berlari-lari dan menawarkan jasa angkut, tidak sedikit dari mereka yang menolak untuk kubawakan barang belajaannya. Tanpa menyerah, akupun mulai mencari pekerjaan di tempat lain, dengan harapan barang kali saja aku bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan.
Akupun mulai menyelusuru trotoar di sepanjang jalan, di tengah perjalanan, kakiku terhenti, saat melihat gerombolan anak-anak seusiaku. Bahkan, banyak di antara mereka yang terbilang masih kecil seusia adikku. Aku yang dari kejauhan, melihat mereka saling bertebaran, berlari menghampiri mobil-mobil mewah, entah itu di saat lampu merah ataupun sedang dalam keadaan macet. Rupanya mereka mengamen. Gerak-gerik mereka pun terus kuperhatikan, seksama. Aktivitas mereka serupa tapi beragam, mereka bernyanyi seadanya, ada yang memaki gitar kecil, kecrek dari tutup limun, atau sekedar menepukkan tangan.
Semakin intens kuperhatikan, mereka pun mulai menyodorkan bekas aqua gelas atau plastik bungkus permen yang usang, ke dekat kaca mobil, sebagai tanda mengharap belas kasihan para dermawan untuk sekedar memberikan uang receh. Ya, aktivitas ngamen ini mereka lakukan, terus berulang-ulang. Berpindah gesit, dari satu mobil ke mobil yang lain.
Lagi-lagi, tanpa pikir panjang, aku langsung bergerak ke sana-ke mari, menoleh ke bawah, dengan maksud mencari kepingan tutup limun di sekitar warung-warung. Setelah kurasa cukup, beberapa kepingan tutup limun itu aku jadikan lempengan, jadilah kecrek. Bersusah payah membuatnya, aku pun segera beraksi.
Entah ada angin apa, glek, pikir dan hatiku berkecamuk tak karuan, hatiku seakan mendesah, “Ya Tuhan, aku jadi pengamen, aku jadi pengemis”, “Marni, seorang perempuan pengamen, seorang perempuan pengemis”, hatiku menjerit. Maafkan aku bu! Jika aku terpaksa mengemis seperti ini. Setelah mengela nafas panjang, aku pun berusaha tegar, yakin bahwa ini adalah pilihan halal.
Aku mulai melangkahkan kaki ke arah kerumunan mobil-mobil yang penuh sesak di persimpangan lampu merah. Dengan modal bernyanyi sebisanya, sambil ku tabuhkan kecrek usang buatanku tadi. Kupegang kecrek di sebelah tangan kanan, lalu kutepukkan kecrek itu ke tangan kiri. Demikian kulakukan, berulang-ulang.
Tak terasa, peluh keringat mulai mengalir deras, menetes dari sekujur badan. Ya, siang itu benar-benar sengat matahari terasa lebih panas dari biasanya. Aku yang mulai kelelahan, memutuskan untuk istirahat sejenak di pinggir trotoar jalan. Aku pun duduk perlahan. Tenggorokanku terasa kering, ingin sekali rasanya aku meneguk, meski sekedar segelas air putih. Perhatianku tertuju uang hasil kerja seharian, aku pun mulai mengeluarkan semua uang-uang yang telah berhasil kudapatkan.
Namun entah mengapa, hatiku kembali menjerit, ucapan ibu sewaktu masih di kampung selalu terngiang di telingaku. “Sesusah-susahnya kita, jangan sampai kita mengemis, mengharap belas kasihan orang lain!”, inilah pesan ibu yang semakin memekikkan telingaku. Aku mendesir, mengemis itu sama saja halnya dengan menngamen, yang barusan aku lakukan. Tanpa terasa, dari kedua sudut mataku butir-butir bening air mata menjadi deras, kuyup membasahi pipiku.
“Ya Allah … maafkanlah aku yang tak bisa menjaga amanah dari ibuku, aku sungguh terpaksa melakukan hal ini ya Allah!”, gumamku dalam hati dengan penuh rasa sesal. Perlahan, aku mulai tegar. Akan tetapi, seketika itu aku kaget bukan kepalang, tersentak, karena seakan-akan tanganku berada dalam genggaman para bodyguard renternir, penjilat, yang bertubuh kekar dan tinggi besar. Ternyata ini benar, kini aku sedang berada dalam kepungan para preman jalanan.
“Hei, serahkan semua uang itu pada kami!”, pinta salah seorang preman itu padaku dengan garang. Aku semakin kalut, “Ya Allah … mereka menginginkan uang hasil kerja kerasku”, desisku dalam hati. Aku mulai tak kuat menahan rasa sakit, sebab sedari tadi mereka menggemgam keras tanganku. Mereka semakin kasar, mereka mengambil semua uang hasil mengamenku tadi. Aku yang tak mau diperlakukan keras, berusaha berteriak meminta tolong, namun apa daya, usahaku sia-sia. Tak ada seorang pun yang mendengarkan jeritanku itu. Aku hanya bisa pasrah pada Allah, meskipun sulit rasanya mengikhlaskan kejadian itu, aku berdo’a dengan penuh yakin, semoga suatu saat Allah berkenan membalas semua perbuatan jahat para preman itu, dan uang yang meraka ambil suatu saat dapat tergantikan.
Sementara itu, Bu Maimun, ibuku, tampak gelisah memikirkan putrinya, “Nak, apakah kau tadi hendak menyakan kemana kakakmu itu pergi?”, tanyanya pada Nia, adikku. “Nia nggak tahu Bu”, jawab nia terbata. Di takut dimarahi Marni nanti, kalau dia jujur pada ibunya.
Bu Maimun makin panik, ketika di luar tampak hujan deras, petir menggelegar bersahutan kilat. “Marni … kamu dimana nak?”, desisnya dalam hati. Nia, yang terikut cemas, akhirnya tak tega melihat ibunya sedih. Dan secara perlahan, Nia pun akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya. Bu Maimun menyimak dengan seksama tiap apa yang dituturkan oleh Nia. Sejenak, setelah tahu kejadian yang sebenarnya, Bu Maimun pun tak pikir panjang, bergegas berlari ke luar rumah untuk mencari anaknya, Marni.
Saat baru membuka pintu hendak ke luar rumah, terlihat sesosok gadis di sana, basah kuyup diterpa hempasan derasnya air hujan. Ternyata, dialah Marni, yang sejak tadi ia cemaskan keberadannya.
Bu Marni pun berlari cepat, tanpa pikir panjang, menghampiri Marni dengan sendu isak tangis, Marni pun dipeluknya erat. Beranjaklah keduanya menuju rumah. Sesampainya di rumah, Marni pun berusaha menenangkan anaknya, mereka pun berpelukan erat, Nia sang adik pun larut dalam peluk dan tangis. Di tengah pembicaraan Marni menceritakan kejadian aktivitasnya seharian, “Ini semua gara-gara ayah Bu, aku benci ayaaah!”, teriak Marni dengan air mata yang terus berderai. Bu Marni berusaha menenangkan, memberi pengertian.
Kerasnya hidup di Jakarta, membuat siapapun yang menjalaninya acap kali tak kuat dan putus asa. Namun Bu Maimun tetap setegar karang, hempasan ombak permasalahan hidup, tetap ia jalani dengan suka cita bersama anak-anaknya. Tak ada kata menyerah. Hanya dengan kekuatan do’a dan keyakinan kuat akan Allah Swt, segala kesukaran dalam hidup dapat terpecahkan dengan baik, meski perlahan. Ya, ibu selalu mengajarkan pada anaknya untuk tidak berputus asa, selalu optimis, bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. Makanya, ibu selalu mengajarkan kami demikian, dan tak kalah penting untuk rajin bersedekah, dan membantu sesama.
Inilah ke-Mahadahsyatan Allah, kisah hidup ibu adalah teladan berharga bagi kami, ke dua anaknya. Kisah hidup keras ibu dalam menghidupi kami, pengalaman menjadi pengemis jalanan saat itu, dan berkat do’a tiada henti, ini semua telah berbuah manis, dimana pada hari itu, dengan tanpa diduga sebelumnya, ada seorang hamba Allah yang berbaik hati, yang langsung memberi kesempatan yang luar biasa bagiku dan adik untuk melanjutkan sekolah. Adikku mulai belajar di sebuah taman kanak-kanan, sementara aku memutuskan untuk belajar di pesantren, sesuai dengan impianku waktu itu. Sedangkan ibu, kini sudah mulai berjualan di toko yang dibiayai hamba Allah itu. Saat kami sekeluarga menanyakan hal ini lebih lanjut, seorang hamba Allah yang tak mau disebutkan namanya itu, hanya berujar, “Ini sudah ketentuan dari Allah, bagi hamba-hambanya yang sabar dan kerja keras”. Manfaatkan uang ini dengan baik, semoga kehidupan kita semakin diberkahi Allah, tegas hamba Allah itu dengan santun. Tak berselang lama, ia pun lantas pergi, sambil meninggalkan secarik kertas berisi alamat rumah dan segepok uang jutaan rupiah.
Subhanallah. Inilah jawaban Allah atas gigihnya perjuangan dan do’a kami sekeluarga; Berawal dari menjadi pengemis rahmat Allah, pengemis di jalanan, akhirnya menjadi pengemis ilmu Allah di pesantren. Alhamdulillah, sujud syukurku pada-Mu ya Allah.



Lelaki Puisi dan Perempuan Menanti..
 Karya : Anis Khoerun Nisa

Aku hanyalah keterbatasan yang terangkum dalam bait-bait puisi
Sembunyi di antara rerumpunan kata-kata
Aku berteman sepi menanti senja membawa ”Lelaki Puisi”
Kulalui jalanan setapak untuk sekedar bertemu dia
Terus bertanya dan mengetuk pintu jalanan
Kapan dan dimana Engkau mempertemukan kami ?
Aku mengharap semua jawaban dariNya.

            Senja kembali menembus cakrawala langit yang mendung, hujan pun seakan ingin menghiasi di senja hari. Ku tatap rintik demi rintiknya seraya mengucap dalam hati, “Subhanallah..betapa Maha Karyanya Engkau menciptakan hujan yang mampu membasahi dunia”. Di setiap rintiknya terkandung makna yang mendalam bahwa hujan memang salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya yang ada di bumi, tidak hanya manusia tapi juga hewan dan tanaman. Aku selalu menyukai segala hal tentang hujan, hujan bisa membuat orang-orang mendadak puitis. Hujan juga menjadi kisah klasik serta kenangan yang sulit untuk dilupakan bagi setiap remaja yang sedang di mabuk cinta.
            Sambil menatap hujan di balik jendela, ku nyalakan handphone yang sedari tadi ku pegang dan tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 06.00 p.m, segera ku sudahi saja menikmati alunan rintik hujannya.
***
            Pukul 07.00 p.m, hatiku penuh dengan rasa penasaran, siapa gerangan yang mengirim inbox (pesan masuk) di facebook-ku. Sebab jarang ku terima inbox, terkecuali saat aku online di PC (personal computer) banyak teman-teman yang menyapa di chatt untuk sekedar ‘say hello’. Ternyata dari teman facebook-ku yang belum aku kenal, sebut saja Alif.
Selamat malam
Salam kenal dari gelandangan malam yang selalu terbuai oleh kenangan semu, seperti hujan yang kau tuliskan aku pun ingin menikmati tetesnya.
Seketika hatiku berdesir, siapa dia sebenarnya? Untuk menjawab rasa penasaranku, aku cari tahu dari mana asal dia, masih sekolah atau sudah menginjak jenjang kuliah kah, dan lain-lain yang bisa menjawab semua rasa penasaranku. Setelah ‘ngepoin’ atau dalam bahasa gaul KEPO (Knowing Every Particular Object). Sedikit info, Kepo berasal dari kata ‘Kaypoh’, bahasa Hokkien yang banyak dipake di Singapura dan sekitarnya. Kepo berarti ingin tahu, atau sebutan untuk orang yang serba tahu detail dari sesuatu, apapun yang lewat di hadapannya selama itu terlihat oleh mataya walaupun hanya sekelebat.
“Uni-ver-si-tas Al-Az-har Cai-ro..”, dengan terbata-bata aku baca satu-persatu tiap suku katanya. Subhanallah.. siapa orangnya yang tak ingin menuntut ilmu di sana, Negeri Para Nabi. Yang aku tahu, mereka yang menuntut ilmu di sana adalah orang-orang yang mempunyai latar belakang agama yang lebih dan notabenenya adalah berasal dari Pondok Pesantren. Hmm..hatiku berdecak kagum pada mereka yang mempunyai kesempatan menuntut ilmu di Negeri Para Nabi.
Masih dengan suasana hati yang berdesir, ku coba membalas inboxnya,
Aku bukan pujangga
Aku tak pantas menjadi perempuan puisi
Tapi hujan telah membiusku bak seorang yang ‘sok’ puitis
Ajaib bukan hujan itu?
Beberapa saat kemudian, muncul 1 pesan di layar facebook-ku..
Puisi untuk gadis cirebon,
Malam merambat menuju puncak Ciremai
Menutup senja di ufuk Gebang
Para ziarah membacakan tahlil di makam Sunan
Aku menikmati gadis Cirebon dengan setetes hujan
Kau adalah perempuan puisi
Yang menghabiskan malam dengan kata-kata
Sementara rembulan harus iri melihat gerai rambutmu yang gelombang
Kau sesekali meniupkan kata pada rembulan
Lalu memantul hingga ke sini, Negeri Para Nabi
Selamat malam.
##
Nampaknya aku semakin tenggelam dan ingin menyelam lebih dasar dalam lautan kata-kata puitis
Lelaki Mesir kah kau?
Sampaikan salamku di ujung Piramid sana. (Balasku)
           
            Kuguratkan senyum di bibirku, terima kasih telah melukis senyum di wajahku. Memunculkan atmosfer semangat yang sempat pergi entah kemana. Setidaknya malam ini aku bisa tidur bersama senyum dan semangat darinya.
***
            Mentari menyapaku dengan senyuman seakan tahu apa yang aku rasakan, indah sekali pagi ini. Aku lebih semangat menjalani aktivitasku hari ini. Tidak hanya mentari, ada juga yang menyapa pagiku di dunia maya;
Selamat pagi..selamat sambut mentari
Semoga hari ini embun menyaksikan gadis pantai menjelma bidadari
Aku hanya membalas dengan ‘emot’ senyuman. J
Aku tahu, Cinta itu anugerah dari-Nya. Cinta itu tak terdefinisi seperti hujan yang mendinginkan bumi. Rintik airnya memancarkan kesejukan pada tanah yang menangis meratapi musim kemarau. Tapi aku tak tahu, apa ini benar-benar cinta atau sekedar rasa kagum. Ah..entahlah.
“Yaa muqalibal qulub, tsabit qalbi ‘ala dinika. Wahai Allah Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
***
            Detik demi detik, menit demi menit dan waktu yang terus berputar, hingga minggu ke minggu tak ada lagi yang ku sebut ‘Lelaki Puisi’, tidak ada lagi puisi-puisi indah yang menghiasi layar HP-ku. Rinduku sebatas puisi bagimu. Kagumku sebatas bait-bait yang terkandung dalam puisimu. Aku terimajinasi oleh sosok lelaki puisi sepertimu. Konyol memang, mengagumi dalam kebisuan. Kadang, sesekali aku membuka akunku untuk sekedar menengok berharap pesan masuk darimu kembali hinggap menghiasi layar HP. Yang ku dapat hanya kekosongan dan kemustahilan. Aku hanya menjadi ‘Perempuan Menanti’ bagimu.
            Aku sadar, hidup bukan berbicara soal cinta saja. Aku teringat sebuah kalimat yang aku baca dari salah satu artikel..
-Hidup manusia itu seperti sebuah BUKU. Sampul depan adalah tanggal lahir, sampul belakang adalah tanggal pulang. Tiap lembarannya adalah hari-hari dalam hidup kita. Ada buku yang tebal, ada pula yang tipis. Hebatnya, seburuk apapun halaman sebelumnya selalu tersedia halaman selanjutnya yang bersih, baru dan tiada cacat. Sama dengan hidup kita, seburuk apapun kemarin, Allah selalu menyediakan hari yang baru untuk kita. Kesempatan yang baru untuk melakukan sesuatu yang benar setiap hari, memperbaiki kesalahan, melanjutkan alur cerita yang sudah ditetapkan-Nya-.
            Man Shabara Zhafira, siapa yang bersabar akan beruntung. ‘Mantera’ ampuh -selain Man Jadda Wajada- bagi siapa saja yang melafalkan kalimat ini saat kita hilang kendali di zona sabar. Seiring berjalannya waktu, aku tersadar dari imajinasiku. Kejadian kemarin sebatas variasi dalam hari-hariku. Tak pernah ada harapan lebih untuk menjadi ‘Perempuan Puisimu’. Mengagumimu dalam diam itu lebih baik. Karnamu, aku bisa berpuisi meski tak seindah pujangga sepertimu. Karnamu, Inspirasiku. J

Aku Mencintai orang-orang Shalih, meskipun aku bukan bagian dari mereka.
Aku pun membenci Ahli Maksiat, meskipun aku bagian dari mereka.
-Imam Syafi’i-




“DUNIA ORANG DEWASA”
Oleh : Nur Sholekhatun Nisa

Panggil saja si mata bulat itu ; Haura. Si mungil berusia 11 tahun yang sangat cerdas, kritis dan cerewet. Baru sekitar 6 bulan menjadi seorang santriwati di salah satu pesantren besar kota Cirebon. Sejak kecil tumbuh dalam asuhan Ummi kebanggaannya : sesosok dewi cantik yang pernah memberinya kehidupan dalam sebuah ruang sempit bernama rahim. Ummi-nya tidak pernah ragu untuk menitipkan Haura dipesantren. Sejak duduk di sekolah dasar Haura meminta sendiri untuk menjadi seorang santriwati dan menjadi perempuan hebat kelak : itu katanya.
*******
Bab Haidh??!
Kening Haura lagi-lagi mengkerut, dua alis tebalnya hampir menyatu. Ditangannya tergenggam sebuah kitab, Rishalatul Mahid. Itu kitab Dirosah santri   atas atau tingkat tiga, tapi si mungil yang masih duduk di tingkat satu ini sangat penasaran dengan isi yang ada didalamnya. Berkali-kali Ia mencoba memahami otodidak, tapi tetap saja. Separuh bebal.
Haura belum pernah mengalami menstruasi atau Heidh. Padahal hampir semua rekan seumurannya sudah mengalaminya. Tapi buat si mata bulat dan indah itu, tidak ada alasan untuk memahami kitab tentang Risalah haidh tersebut walaupun ia belum pernah mengalaminya.
“Ra, nanti malam kamu siap kan jadi Delegasi dari komplek kamar kita?” Zubaidah mengerlingkan matanya ke pojok kamar, Haura ada disana, sibuk dengan beberapa kitab yang sedang coba ia apahami.
“Insya Allah Mbak, sudah ada beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan untuk Musyawarah Akbar Batsul Kutub nanti malam,” senyum dari bibir mungilnya mengembang, tetapi dibarengi dengan wajah yang masih amat polos.
“Yakin? nanti malam kita bahas Bab Haidh loh, kamu kan belum Haidh, Ra?” Asiyah menimpali dari balik pintu kamar. Matanya seolah meledek ke arah Haura.
“Memangnya ada larangan bertanya untuk santri yang belum Haidh?” mata Haura siap mencakar Asiyah. Sangat tidak suka jika hal yang satu itu mulai dibahas. Belum Haid. Dan itu bukan suatu alasan untuk membatasi apapun yang ia pahami. Begitu kan?
Asiyah hanya tersenyum kecut, tidak enak hati dipandangi demikian oleh Haura. Si mungil yang sedikit merasa terusik dengan guyonan Asiyah. Asiyah mengangkat jari telunjuk dan jari tengah bersamaan di hadapan Haura. Lalu tersenyum.
“Saya juga akan bertanya hal-hal yang justru karena saya tidak tahu tentang itu,” ujar Haura sambil menyibak halaman-halaman kitab yang masih khusyuk ia baca untuk persiapan Batsul kutub nanti malam. Beberapa buku tentang kesehatan reproduksi juga tergenggam ditangannya.
“Usahakan pertanyaan yang ringan yah, Ra. Kasihan kang Zidan, nanti dia mati kaku sama pertanyaanmu yang macam-macam lagi. Haha” Zubaidah kemudian mencoba mencairkan suasana di kamar, membuat lelucon ringan dengan gaya ironi. Dan, seisi kamar terbahak, sukses menggempur Haura dengan candaan. Haura tertawa lebar.
Yah, begitulah Haura. Yang membuat ia unik, anak itu kerap menyimpan banyak pertanyaan-pertanyaan yang kadang tidak sesuai dengan seumurannya. Hobbynya adalah bertanya. Apapun. Dari yang penting sampai tidak sangat penting. Tapi haura tidak suka dengan jawaban yang menurutnya menyebalkan. Ia pernah beberapa kesempatan bertanya pada kakak tingkat, tapi yang ada mereka tidak memberi jawaban yang memuaskan. Ada yang malu-malu menjawab, ada yang enggan menjelaskan, ada yang acuh, bahkan ada juga yang menjawab dengan menyalahkan keadaan Haura, alias gara-gara Haura belum Haidh.
“Mbak, haidh itu bagaimana sih?”
“Ya, yang kaya gitu...”
“Mbak, haidh itu bentuknya seperti apa dan keluar dari mana?”
“Ngapain sih anak kecil tanya-tanya. Nanti juga faham sendiri,”
“Mbak, kalau orang Haidh itu pasti punya rahim yah? Atau tidak?”
“Ya mana aku tahu, makanya jadi Orang Dewasa!”
“Mbak, Apa sih Dewasa itu?”
“Makanya cepet Haidh, nanti pasti Dewasa!”
Haura tidak butuh jawaban-jawaban yang tidak memuaskan. Haura hanya ingin lebih faham, agar ia mampu menjadi Perempuan yang dapat tumbuh dewasa.
Apa menjadi Dewasa itu meyeramkan? Apa benar yang selalu dikatakan orang-orang kalau orang dewasa itu egois? Memangnya seperti apa dunia orang dewasa yang mereka maksud? Kira-kira kapan aku akan menjadi dewasa? Bagaimana aku bisa dewasa jika bertanya saja membuatku selalu di judge yang tidak-tidak? Apa belum Heidh berarti belum Dewasa? Lalu apa yang harus aku lakukan agar segera Haidh dan segera Dewasa? Ah!
Batin Haura kerap berseteru. Ringan, tapi dengan banyak pertanyaan yang kadang membuatnya pusing sendiri. Haura mungil, haura yang kritis. Sangat.
*******
            Aula Asrama ramai. Batsul kutub sudah dimulai satu jam lalu. Kegiatan rutin ini ialah semacam pembedahan kitab dari bab ke bab. Sebuah agenda mingguan yang selalu ditunggu-tunggu oleh para santri baik putra ataupun putri. Pada kesempatan itu disebut juga dengan Musyawarah Akbar,  biasanya dipimpin oleh Kang Zidan, putra bungsu Abah yang masih berumur 20 Tahun.
Semua santri yang menjadi Delegasi dari komplek kamar masing-masing berhak untuk memberikan ide, menyampaikan pendapat, atau mengajukan pertanyaan. Seluruh santri dituntut untuk berfikir kritis dan memahami bab-bab yang dibahas pada tiap episode Batsul Kutub.
Malam ini Babul Haidh menjadi suatu bahasan yang menarik. Lebih menarik lagi dengan kehadiran Delegasi dari Kompleks Kamar Al-hafidz yang di wakili oleh si cerdas Haura. Satu-satunya Delegasi yang belum pernah mengalami Haidh tapi ia banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar Haidh, dan... tentang kesehatan reproduksi pula. Semua sudah bertanya, tetapi giliran pertanyaan datang dari Haura, semua hening, menunggu. Karena biasanya satu anak ini memang kerap memberikan pertanyaan yang tidak biasa.
“Ehmmm... begini Kang, nyuwun sewu, Saya hendak mengajukan beberapa pertanyaan mengenai bab Haidh yang Kang Zidan terangkan di kitab safinnatunnajah ini. Sebelumnya saya memang belum pernah merasakan Haidh itu bagaimana, tetapi pertanyaan saya adalah seperti apakah Haidh itu? Bagaimana proses terjadinya Haidh di diri Perempuan? Dibagian tubuh manakah Haidh tersebut diproduksi? mengapa Haidh dialami oleh perempuan, mengapa laki-laki tidak? Lantas, bahaya apa  saja yang ada pada perempuan Haidh? Apakah Orang Dewasa itu orang yang sudah mengalami Haidh? Dan....” pertanyaan Haura berhenti.
Seluruh pasang mata diruangan itu menerjang ke arahnya. Haura merasa ada yang aneh dengan tatapan-tatapan itu. Beberapa santri tertawa, ada juga yang hanya tersenyum geli.
“Mungkin cukup seperti itu pertanyaan saya kang, terimakasih” Haura sedikit menurunkan kepalanya membentuk ritme ucapan terimakasih.
“Baiklah, mungkin hal ini lebih dalam konteks Realita. Kamu bisa tanyakan ke Ummi-mu atau Ke Guru-mu kan? Disini kita tidak membahas cara ataupun praktek reproduksi apalagi mengenai Heidh dan penjelasan detailnya. Jadi pertanyaan ini bisa diskip saja. Ada banyak pebahasan yang lebih penting untuk dibicarakan dalam bab ini,” jawab Kang Zidan. Nada suaranya terlihat tegas. Ia sudah faham betul santrinya yang satu ini bagaimana. Pasti sebentar lagi ia tahu ada adegan penyangkalan dari Haura.
“Sebentar kang,” sergah Haura. Benak Kang Zidan membenarkan. Ia tersenyum, sedikit tertantang dengan cerita Haura selanjutnya.
“Ummi saya tidak pernah memberi pelajaran tentang Haidh secara intensif kepada saya, terkadang dalam keluargapun kami saling malu-malu. Dan saya malah berharap dipesantren ini tidak hanya dijadikan sarana untuk mempelajari ilmu-ilmu agama saja ataupun mempelajari tentang perempuan dan teori Fiqihnya. Sedangkan kami, perempuan, butuh sekali Hak untuk mengetahui tentang Kesehatan reproduksi yang selama ini dijelaskan dalam teori-teori kitab-kitab fiqih. Itu adalah pendidikan penting yang tidak diberikan dalam Sekolah Formal pula. Reproduksi perempuan sangat rentan berkendala. Tapi kita tidak memahami banyak praktek dari teori yang kita pahami. Apakah kita harus tetap menjalaninya dengan katanya, kata si ini, kata si itu juga kata orang?” kalimat panjang itu keluar dari bibir Haura lagi, ada banyak Fakta yang ia ungkap. Beberapa santri mulai mengangguk-anggukan kepalanya, membenarkan kata-kata Haura.
Kang Zidan diam, ia tidak pernah menyangka Bab kali ini ditanggapi sangat luas oleh bocah yang masih berumur 11 tahun itu. Padahal selama ini pada tiap babnya, pembahasan tidak pernah dijadikan serumit ini. Tetapi ada yang sangat lain dengan pemahaman nalar Haura.
“Haura, nanti di tingkat tiga kau pasti akan mempelajari Kitab Risalah Haidh, nanti pasti di ajarkan” Kang Zidan menjawab seringan mungkin. Berharap pertanyaan Haura segera selesai dibahas. Tapi, mungkin kang Zidan salah arah jawaban.
“Kang, kenapa di pesatren ini pelajaran Risalatul Mahidh hanya diperuntukkan untuk santri tingkat III? Mereka santri-satri yang sebentar lagi boyong. Sedangkan kitab ini seharusnya di pelajari oleh semua santri yang ada disini. Semua santri perlu mempelajari itu, apalagi remaja seperti saya yang belum mengalami Haidh. Bukankah itu sebuah deskriminasi? Memangnya hanya orang-orang dewasa saja yang dipastikan memahami kitab tersebut? Orang-orang yang sudah mengalaminya. Sedangkan di pesantren ini, 70% santrinya adalah seorang PEREMPUAN. Perbandingan santri putra dan putri ialah 1:3. Lagipula, pengetahuan akan lebih baik diberikan sejak dini ‘kan?”
Lagi dan masih akan tetap lagi. Seluruh pasang mata menerjang ke arah Haura. Beberapa santri bahkan ada yag antusias membela ada juga yang terlihat takjub dan ada juga yang mengganggap Haura terlalu sok tahu dan apa yang ia bahas tidak penting.
“Haura, tapi membahas hal ini adalah Hal yang Tabu, dan itu tidak akan mungkin kita pelajari dipesantren ini. Itu senonoh namanya,” Kang Zidan mulai sedikit berubah ekspresi. Kesal. Tapi ia tidak mungkin menampakan kekesalannya pada bocah seperti Haura. Ia pasti akan kecewa, dan Kang Zidan tidak ingin dicap buruk oleh para santri karena menunjukan kekesalannya pada setiap pertanyaan Haura yang terlalu banyak.
“Kang, Saya memang tidak tahu apa-apa tentang Haidh, saya memang hanya bisa bertanya. Tapi saya yakin sebenarnya itu semua bukan hal yang Tabu. Mungkin banyak santri-santri yang berpikiran sama seperti saya, dan saya, mungkin satu dari mereka yang ingin sekali meminta penjelasan yang lebih specifik. Bukankah mengetahui itu adalah Hak kami? Jika tidak diungkap, kapan kami mendapatkan Hak kami?”
            “Bukankah dalam Kitab juga sudah dijelaskan? Apa tidak cukup? Atau kamu terlalu Dini untk mebicarakan semua ini? Begitu kan?” Mata Kang Zidan sudah merasa menang. Tapi Haura polos masih ingin mengatakan sesuatu.
“Kang, Banyak kitab-kitab yang menjelaskan mengenai perempuan serta fikih, perempuan dan auratnya, perempuan juga harus menjaga dirinya, perempuan kelak harus melayani suaminya, perempuan juga ini dan itu. Tapi, adakah kitab yang menjabarkan mengenai Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksinya?”
            Kang Zidan Hening, entah takjub, bingung atau apa. Haura kecil sepertinya sangat berbeda. Haura ikut hening. Seluruh tatap mata itupun hening. Aula jadi hening. Siapakah yang siap memecah hening malam?
Haura tidak butuh jawaban-jawaban yang tidak memuaskan. Haura hanya ingin lebih faham, agar ia mampu menjadi Perempuan yang dapat tumbuh dewasa.
Lagi, batin haura berseteru :
Apa menjadi Dewasa itu meyeramkan? Apa benar yang selalu dikatakan orang-orang kalau orang dewasa itu egois? Memangnya seperti apa dunia orang dewasa yang mereka maksud? Kira-kira kapan aku akan menjadi dewasa? Bagaimana aku bisa dewasa jika bertanya saja membuatku selalu di judge yang tidak-tidak? Apa belum Heidh berarti belum Dewasa? Lalu apa yang harus aku lakukan agar segera Haidh dan segera Dewasa? Ah!
********
Jum’at pagi dibulan Desember. Haura beranjak dari lelap. Tiba-tiba dini hari seperti ini ia merasakan  nyeri hebat di bagian abdomen-nya. Rasanya seperti dililit, padahal ia tidak pernah makan apapun yang macam-macam.
Haura segera menuju kolah, berniat untuk buang air. Namun, ada yang ganjil di bagian belakang sarung yang ia kenakan untuk tidur semalam. Ada bercak-bercak darah yang amis. Ia memeriksa celana dalam dan benar saja, bercak darah berwarna merah kecoklatan itu ada disana pula. Tiba-tiba Tubuhnya gemetaran hebat, belum pernah ia mendapati bercak-bercak itu sebelumnya. Sama sekali tidak pernah. Haura membatin. Ada banyak pikiran yang berputar-putar dikepalanya. Perasaannya jadi campur aduk. Antara takut, cemas, dan ragu-ragu untuk meyakini bahwa itu merupakan sebuah kabar gembira. Yah, kabar kebahagiaan ; Selamat datang di  dunia orang dewasa!.
Wonosobo, 16 Januari 2012

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.