KARENA BERSAMA ITU INDAH
Nuraeni
Malam ini sungguh terasa amat dingin, sampai – sampai udara dingin serasa perlahan merambat dan mulai menusuk tulang – tulangnya. Dengan mata terpejam ia mencoba meraba sekelilingnya, mencari selimut yang entah kemana. Ia mulai tak sabar karena apa yang dicari tak kunjung ia temukan hingga ia mencoba untuk membuka mata dan bangkit dari tempat tidur. Suara detak jarum jam berker disampingnya terdengar begitu jelas ditengah sunyinya malam. Ia coba turun dari tempat tidurnya, namun kakinya menyentuh sesuatu, selimutnya. Ia raih dan ia balut tubuhnya dengan selimut, ia berusaha untuk kembali mengistirahatkan matanya. Namun, belum sempat matanya terpejam, tiba-tiba HPnya bergetar dengan berat hati ia raih dan membuka sebuah pesan singkat yang tertera dilayar HP jadulnya itu. Dari Dea, sahabat lamanya.
Assalamu’alaikum Ukhti Likha yang cantik.. jam segini lagi shalat tahajud yaa.. hmmm maaf yah kalo Dea ganggu… Likha gimana kabarnya? Dea kangen nih, udah lama nggak ketemu L Dea mau curhat banyak sama Likha masih boleh kan? Insya Allah kalo ada kesempatan Dea mau main kerumah Likha… mmmmm.. ya udah, dadha. Wassalamu’alaikum
Ya… Namanya Likha, lebih tepatnya Mas’atus Sholikha. Gadis yang terkenal cerdas dan baik ini, tak pernah pilih – pilih teman dan mau berteman dengan siapa saja, tak terkecuali dengan Dea yang notabennya adalah gadis non-Muslim dan lebih dikenal sebagai anak yang nakal karena sebuah tattoo dibelakang daun telinga kirinya.
Tanpa ia sadari sebuah senyum mengembang dibibirnya setelah membaca pesan singkat dari sahabat yang sangat ia rindukan itu. Tiba – tiba, tok.. tok.. tok..
Umi     : “Likha?? Bangun nak, shalat”
Likha   : “Masuk mi, Likha udah bangun kok”
Umi     : (sambil membuka pintu kamar) “Lho, kok mainan HP lampunya gak dinyalain”
Likha   : “Oh iya umi, lupa”
Umi     : “Hm.. nanti kalo minusnya nambah gimana?” (sambil menyalakan lampu kamar)
Likha   : “Jangan sampe dong umi, ah umi mah”
Umi     : “Iya.. Iya.. Likha lagi lihat apa sih, Kok senyum - senyun sendiri? Jangan.. Jangan..”
              (ledek umi pada Likha sembari duduk disebelahnya)
Likha   : “Ini umi, likha dapet sms dari dea”
            Jawab Likha sembari menunjukan pesan di HPnya seraya tersenyum manis pada umi. Mendengar nama Dea, senyum yang semula menghiasi wajah umi yang indah itu langsung luntur. Raut wajahnya berubah dan umipun hanya diam hingga suasana yang sunyi menghampiri mereka.
Likha   : “Umi?” Likha langsung melepas HP yang ada digenggamannya, senyumnya sirna…
Umi     : “Likha, taukan kamu kalo umi gak suka sama temen kamu itu? Umi gak suka Likha  deket – deket sama dia,  dia itu bisa ngasih engaruh buruk buat kamu!! Dia itu gak bisa ngehargai kamu sebagai muslimah!
Umi mulai meninggikan nada suaranya, bukti kekesalan umi yang terpendam. Umi memang tidak pernah suka melihat putrinya bergaul dengan sembarangan, apalagi Dea yang terkenal nakal. Mendengar uminya berbicara, Likha menjadi takut untuk melanjutkan pembicaraannya. Namun ada sesuatu yang membuat ia memberanikan diri berbicara lagi pada umi.
Likha   : “Maafkan Likha umi, likha hanya ingin memperbaiki dia. Likha juga kasian sama Dea, ia adalah gadis malang korban Broken Home. Ibunya pergi bersama selingkuhannya dan ayahnya juga mau menikah lagi. Mangkannya ia sedikit berantakan karena mencari perhatian selain dirumahnya.”
Likha coba menjelaskan siapa sebenarnya Dea dengan harapan hilang sedikit demi sedikit kebencian di hati umi kepada Dea. Umipun hanya diam, berusaha menjadi pendengar yang baik bagi putrinya.
Likha   : “Seperti yang umi tau, dea itu dulunya emang nakal. Tapi setelah kenal Likha, Dea  jadi berubah. Sebenarnya Dea juga baik lho umi… prestasinya diatas rata – rata, bahkan Likha juga kalah… perlu umi tahu juga, Dea itu memiliki sikap toleransi yang tinggi, meskipun kita beda keyakinan tapi Dea selalu ngingetin Likha buat Shalat, Dea juga bela – belain gak makan Cuma gara – gara tau kalo Likha lagi puasa, Dea baik kan umi?? Gak seperti yang umi bayangkan.”
Likha terus berbicara, mencoba meyakinkan umi bahwa dea tidaklah seburuk apa yang uminya fikirkan. Namun ternyata respon umi tak seperti apa yang diharapkan.
Umi     : “Sudah.. cukup! Pokoknya umi gak suka sama si dea itu. Umi seperti ini karna umi cuma pengen yang terbaik untuk kamu.. sudahlah cepat shalat sanah.”
Jawab umi singkat. Wanita paruh baya itu bangkit dari duduknya dan berlalu begitu saja keluar dari kamar Likha. Namun sebelum menutup pintu, umi menghentikan langkah kakinya sambil menatap putrid satu – satunya itu dan berkata..
Umi     : “Umi hanya akan menerima dia, jika umi melihat dia memakai hijab, layaknya kita sebagai umat muslim.”
Blaag… umi menutup pintu dan berlalu. Likha hanya terdiam melihat sikap uminya, ia langsung mengambil air wudhu dan menunaikan Ibadah Shalat Tahajud. Setelah selesai dzikir dan berdo’a, tiba – tiba Likha teringat akan dea. Ia merasa ada yang aneh pada dea hingga membuatnya bingung, pasalnya dalam sms yang ia terima dari dea terdapat kata – kata yang mustahil diucapkan oleh seorang non-muslim. “Kenapa dea bilang Assalamu’alaikum? Kenapa Ukhti? Kenapa harus Insya Allah? Itu sama sekali bukan haknya! Atau jangan – jangan dea jadi mualaf? Ah, rasanya tidak mungkin!” ucapnya membatin.begitu banyak pertanyaan yang singgah dalam benaknya, namun ia tepis semua itu. Likha menganggap itu hanyalah sekedar gurauan semata. Waktu menunjukan pukul 4 pagi, Llikha langsung bergegas meraih handuk bersiap diri untuk mandi. Namun matanya sekejap melirik boneka panda, sebuah senyum kecil Nampak diwajahnya. Matanya menerawang jauh, coba mengingat seseorang yang sangat ia rindukan.
***
Aduhh… kok ini kerudungnya miring” gerutu Likha saat dia mengetahui bahwa kerudung yang ia kenakan miring. Iapun menghentikan langkanya untuk memperbaiki kerudungnya itu. Likha bersembunyi dibalik mobil angkot, berusaha berusaha mencari tempat yang sepi dan nyaman untuk membetulkan kerudung lebarnya. Ia bercermin pada kaca belakang angkot, mulai dengan melepas jarum pentul, tiba – tiba….
Dea      : “Aduh….” Menabrak Likha
Likha   : “Innalillahi… hati – hati mba. Tuh kan jarum pentulnya hilang, dih gimana nih?” menyipitkan mata kea rah bawah, berharap menemukan jarum pentulnya yang jatuh.
Dea      : “Maaf.. Maaf… nggak sengaja mba” jawabnya cepat sembari jongkok tepat disamping angkot, matanya melirik lemas kearah jalan. Sedangkan Likha masih sibuk mencari jarum pentul satu – satunya itu.
Likha   : “mba punya jarum pentul nggak? Punya saya hilang”
Dea      : “Aduuuh, loe bisa diem nggak sih?” menarik tangan Likha. Likhapun ikut jongkok bersama Dea. “Sssssst” Dea menempelkan jari telunjuknya dibibir.
Likha   : “Ada apa mba?” mukanya datar.
Dea      : “Gue lagi dikejar Satpol PP!”
Likha   : “Hah….” Matanya melebar, dan bergegas bangkit untuk segera pergi, namun dea menarik tas sekolah Likha. Isyarat agar Likha tetap ditempatnya.
Dea      : “Gue orang baik kok, yah walaupun agak nakal, tapi dikit kok nakalnya.. nih pake! Maaf ya jarum pentulnya hilang gara – gara gue” menyodorkan penjepit kertas kecil.
Likha hanya diam, namun Dea malah menyerahkan klip ketangan Likha. Likha pun kembali membetulkan kerudungnya. Dengan penjepit kertas sebagai pengganti jarum pentulnya yang jatuh.
Dea      : “Nah.. pergi kek dari tadi.. dasar luh” tuturnya saat melihat mobil Satpol PP berlalu.
Likha   : “Emangnya kenapa bisa dikejar sama Satpol PP?” Tanya Likha sedikit curiga.
Dea      : “Tadi tuh gua lagi bantuin ibu-ibu mulungin sampah plastik. Eh ternyata lagi ada razia terus gue dikejar – kejar, sialankan? Orang punya niat baik kok malah dikejar, yah sudahlah. Kenalin gue Deantri Yosa, panggil aja Dea.” Berdiri dan mengulurkan tangan.
Likha   : “Saya Mar’atus Solikha, biasa dipanggil Likha” menjabat uluran tangan dea.
Merekapun menjadi saling kenal dan akrab, meskipun mereka beda keyakinan namun dalam pergaulan, mereka tidak pernah mengesampingkan nilai-nilai keyakinan dan kepercayaan yang dipegang teguh. Dea dan Likha satu sama lain merasa nyaman, mereka seperti menemukan dunia baru. Likha yang selalu di rumah, kini mulai sering pergi keluar rumah bersama dea, begitupun dea setelah mengenal Likha, ia menjadi lebih lembut dan anggun. Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk saling mengerti dan memahami satu sama lain.
Mereka semakin dekat karena hamper setiap hari dea mengajak likha keluar rumah. Namun kedekatan dead an likha membuat umi dan sahabat – sahabat likha merasa ada yang berbeda dengan likha. Bahkan membuat sahabat – sahabat likha merasa cemburu karena likha lebih banyak menghabiskan waktu keluar rumah bersama dea, dari pada bersama sahabat-sahabatnya.
Marni   : “Kaya ada yang kurang gitu yah” tuturnya memecahkan keheningan mereka bertiga, saat ditaman sekolah.
Mirna   : “Iya! Tapi apa yah?” celetuk Mirna yang merupakan kembaran Marni.
Najwa  : “Likha maksud kalian?” katanya datar.
Mirna   : “Iya nih kangen sama Likha, dia kok kaya ada yang beda yah?”
Marni   : “Gimana gak mau beda, denger – denger dia tuh punya temen baru. Hampir tiap hari dia jalan – jalan bareng temen barunya itu.”
Najma  : “Iya! Jadi penasaran kayak gimana sih temen barunya itu.”
Likha   : “Dorrr….!!” Muncul tiba – tiba dari arah belakang.
Mirna   : “Ayam Goreng!!” Mirna kaget.
Najma  : “Likha ngagetin mulu kerjaannya”
Murni  : “Iya nih… sampe yang lagi puasa latahnya keluar ayam goring… hehe”
Mirna   : “Apaan sh”
Likha   : “Kalian lagi puasa? Eh maaf” menyembunyikan minumannya
Najma  : “Gak papa kok”
Marni   : “Tumben kamu gak puasa sunah, perasaan minggu kemarin kan kamu baru selesai PMS?”
Likha   : “Iya soalnya kemarin makannya pas disekolah aja, jadi sekarangnya laper”
Mirna   : “Oh… kamu kemana aja belakangan ini, kalo pulang sekolah cepet – cepet aja”
Marni   : “Iya nih… eskul jarang berangkat, latihan acapella apalagi.”
Likha   : “Hmmm…. Iya maaf, saya jadi jarang bareng sama kalian, saya lagi seneng jalan – jalan nih… ada temen yang ngajak keluar rumah.”
Najma  : “Kenapa gak dikenalin sama kita?” celetuk najma sinis.
Likha   : “Mmmm… belum sempet, nanti saya kenalin deh, oh yah soal acapella kan baru empat orang, gimana kalo temen baruku ikut, biar pas jadi 5 orang, suaranya jul….”
Najma  : “Nggak usah! Kita bisa sendiri kok, kita juga bisa tanpa kamu!” sambarnya, mendengar itu Marni dan Mirna hanya membisu.
Likha   : “Lho, kak kamu gitu…?” tanyanya tak faham
Najma  : “Saya gak tau siapa temen barumu itu. Yang pasti saya tidak suka sama dia. Saya kecewa sama kamu kha… semenjak punya temen baru kamu jadi berubah, dan kalo kamu udah gak mau gabung latihan acapella mending udahan aja dari sekarang, dari pada setiap latihan lapa terus” ucapnya kesel.
Likha   : “Astaghfirullah, maafkan saya temen – temen”
Najma  : “Ya Allah, aku juga minta maaf. Soalnya mikirin lomba acapella terus tapi jarang latihan.”
Neng neng nong neng… bel masukpun berbunyi, mereka berempatpun masuk ke kelas mereka. Teguran Najma membuat Likha merasa bersalah, ia mencoba untuk memperbaiki keadaan dan berusaha untuk mengurangi waktu bersama dea. Namun tetap saja itu tidak berhasil. Likha semakin dekat dengan dea, namun sebaliknya Likha makin jauh dengan ketiga sahabatnya.
Suatu ketika umi meminta Likha untuk mengundang dea, dengan alas an umi ingin bertemu dengan dea. Likhapun menyetujui. Saat itu ketiga sahabat Likha berada di rumah Likha karena undangan umi dalam rangka menyambut dea, temen baru Likha yang selama ini ia sembunyikan.

Tok..tok…tok…
Likha   : “Mungkin itu dea umi”
Umi     : “Ya sudah, biar umi yang buka”
Marni   : “Jangan bu, biar saya saja” bergegas kearah pintu.
Dea      : “Selamat siang” senyumnya mengembang.
Marni   : “Siang..” jawab marni heran saat melihat seorang gadis didepan pintu tanpa kerudung dan berpakaian ketat.
Marni   : “Yaa Allah..!!!” tambah Marni terkejut saat menemui gaids itu membawa seekor anjing.
Najma  : “Ada apa?”
Umi     : “Siapa kamu? Ngapain bawa hewan ini kerumah saya, Innalillahi.. dia kencing disandal umi..” ucap umi kesal.
Dea      : “Maaf ibu, maaf” sambil menggendong hewan peliharaannya.
Likha   : “Ada apa ini? Kok ribut – ribut di depan pintu. Eh dea, temen – temen kenalin ini yang namanya  dea. Dea kenalin, ini umi  sama temen – temen saya, ayo masuk!” ajak Likha.
Umi     : “Tidak usah!” tolak umi tegas.
Likha   : “tapi kenapa umi?” Tanya likha heran.
Umi     : “apa kamu tidak lihat gadis ini membawa apa? Apa kamu mau rumah ini kotor karena najis mugholadoh” ucap umi sambil menunjuk anjing yang dibawa dea.
Mendapati suasana seperti ini, Najma, Marni dan Mirna hana terdiam, begitupun dengan Dea ia sangat merasa bersalah.
Umi     : “Maaf Dea, sebagai muslim kamu kan tahu bahwa hewan yang kamu bawa ini dilarang dalam islam najis nak.” Nada suarana mulai turun.
Dea      : “Maaf sebelumnya ibu, kedatangan saya membuat suasana jadi kurang nyaman dan jujur… saya bukanlah beragama Islam, saya Kristiani” jelasnya sedikit ragu.
Umi     : “Apa?! Ya Allah…. Sebaiknya acara hari ini dibatalkan saja, kepala umi pusing.”
Umi terkejut mendengar itu, ia langsung masuk rumah dan menutup pintu dengan keras membuat suasana semakin tak karuan.
Dea      : “Maafkan aku.. Kedatanganku membuat semuanya berantakan.” Matanya berkaca- kaca
Hening menghampiri mereka, tak satupun menjawab dea, tiba - tiba Najma menarik tangan Likha membawanya ke gerbang Marni dan Mirna mengikuti dibelakang sedangkan masih diam ditempatnya.
Najma  : “Jadi orang kaya dia yang kamu utamain daripada kita? Daripada latihan acapella? Ya Allah…. Istighfar Likha dia itu cuma ngasih pengaruh buruk sama kamu!” ucapna dengan nada tinggi.
Likha   : “Diam kamu! Jaga mulutmu itu! Dia itu gak seperti yang kamu tau, sejak kenal dia saya juga biasa – biasa aja.”
Mirna   : “Udah… Cukup… kaya anak kecil tau nggak kalian itu” ucapna melerai.
Najma  : “Biasa aja kamu bilang? Lihat umimu itu! Lihat prestasimu! Lihat persahabatan kita. Semuanya berantakan gara – gara kamu kenal dia.”
Marni   : “Najma cukup!”
Najma  : “Udahlah.. emang kenyataannya gitu kok.”
Dea      : “Najma….” datang dari belakang.
Najma  : “Apa kamu? Kamu tahu gara-gara kamu Likha jadi berubah! Kamu ngapain dia sih? sampe dia beruba drastic.. hah”
Marni   : “Cukup Najma”
Dea      : “Maap, map, dan map udah ganggu kehidupan kalian, tapi tak ada maksud sedikitpun untuk membuat semuanya seperti ini.”
Najma  : “Terserah kamu lah mau ngomong apa, lebih baik kamu pergi deh jauh – jauh.”
Likha   : “Najma, kamu kan tau dan faham tentang toleransi, Rasulallah saja mau berteman dan hidup berdampingan dengan mereka yang bukan Islam.”
Najma  : “Dan sayangnya saya bukan Rasulallah.” Ucapna sambil berlalu.
Mirna   : “Najma tunggu….” Menyusul najma diikuti Marni.
Likha   : “Dea jangan nangis, maafin umi sama temen – temen ya.” Coba menenangkan Dea, namun Likha..
Dea      : “Seharusnya aku yang minta maaf, gara – gara aku semuanya berantakan.” Ucapnya sambil menahan tangis.
Dea      : “Likha, makasih yah udah mau kenal dea, udah mau dengerin curhatanku. Dea mau kasih tau Likha kalau sekarang Dea mau ikut papah dea.” Tuturnya sambil mengusap air mata.
Likha   : “Lho.. emangnya mau kemana?”
Dea      : “Nanti lusa papah dea mau nikah lagi, dea bakalan ikut mereka dan mungkin kita gak bakal ketemu lagi.”
Likha   : “Astaghfirullah… dea yang sabar ya.”
Dea      : “Gak papa kok… dea kan strong. Sampaikan salam maafku untuk umi dan temen – temenmu yah.”
Likha   : “Tapiiiii…..”
Dea      : “Sudahlah, mungkin ini yang terbaik. Ini Likha buat kamu, jaga baik – baik ya.” Menyodorkan sebuah boneka panda dan Likha pun menerimanya, namun ia hanya membisu.
Dea      : “Dadha Likha… aku pergi” ucapnya sambil berlalu namun Likha hanya menatapnya tanpa berbicara sedikitpun. Tanpa ia sadari butiran air jatuh perlahan diatas pipi lembutnya.
***
Tempeee…. Tempeee…. Teriakan mang ajo membuyarkan ingatannya tentang orang yang member boneka panda itu.
Yaa Allah… udah hamper subuh.” Sadarnya membatin.
Likhapun bergegas mandi dan beraktifitas seperti hari – hari biasanya. Umi yang semalam menunjukan sikap dingin pada Likha, kini mulai mengembangkan senyumnya kembali. Setelah sarapan Likha pun langsung berpamitan pada uminya untuk pergi sekolah. Saat tiba disekolah, Likha bertemu dengan teman – temannya dan berincang  - bincang mengenai lomba acapella yang telah lama mereka siapkan.
Najma  : “Hey, udha tau belum…?? Kalo lomba acapella yang kita tunggu – tunggu itu bakal dilaksanain minggu depan!”
Marni   : “Ah, yang bener??? Terus gimana doooong???” ucapnya cemas.
Mirna   : “Tenang aja kali, kan kita udah siapin dari jauh – jauh hari” tuturnya santai.
Likha   : “Nah, betul itu…” katanya membenarkan.
Najma  : “tapi ada kendala.”
Mirna   : “Lho.. apa?? Bukannya persyaratan masih kayak tahun lalu kan?”
Najma  : “Tahun sekarang 1 group anggotanya harus 5 orang, gak boleh kurang gak boleh lebih.”
Marni   : “Tuhkan…. Terus gimana dooong? Waktunya kan sebentar lagi.”
Likha   : “kalau aja dulu Dea gabung sama kita, mungkin sekarang kita gak bakalan repot kaya gini.” Ucapnya tak sadar. Mendengar itu, ketiga temannya hanya memandang heran dirinya.
Likha   : “Maaf..” ucap Likha ketika sadar katanya mengusik hati sahabat – sahabatnya.
Mirna   : “Oh iya,.. baru inget kemaren ibu maryam bilang kalo anak tirinya itu mau pindah sekolah keisni, dan ibu juga bilang kalau anaknya suka nyanyi.” Sambarnya mengabaikan Likha.
Najma  : “Maksudnya mau masukin anaknya Ibu Maryam ke group kita gitu? Tapi kan kata orang ana tirinya Ibu Maryam itu baru jadi mualaf 3 bulan yang lalu.
Likha   : “Kalau menurut saya sih, gak apa – apa lah.. daripada gak ada sama sekali.”
Marni   : “Iya juga sih, besok kan dia mulai masuk sekolah, gimana kalau nanti kita tanyain aja, siapa tau dia mau.”
Najma  : “Boleh Juga.”
Mereka berempatpun sangat menunggu kedatangan anak baru itu, anak tiri dari seorang guru PAI yang baru menikah 3 bulan yang lalu. Keesokan harinya Likda dan ketiga sahabatnya melihat Ibu Maryam keluar dari ruang TU dengan seorang anak, dari pakaiannya terlihat bahwa ia adalah anak baru. Melihat anak tersebut, Likha dan ketiga temannya senang bukan main dan segera mereka menghampiri Ibu Maryam. Namun betapa kagetnya Likha saat mengetahui bahwa anak tiri Ibu Maryam adalah Dea.
Dea                  : “Likha…”
Likha               : “Dea..”
Ibu Maryam    : “Lho, kalian udah saling kenal yah…??”
Dea                  : “Iya Mah, Likha itu sahabatku”
Ibu Maryam    : “Oh, Syukurlah… Najma tolong antarkan dea ke kelas kalian ya.. dea dapat kelas yang sama dengan kalian, ibu masuk kantor dulu.” Ibu maryam berlalu meninggalkan mereka.
Najma              : “Baik bu… Dea, kamu..”
Dea                  : “Iya, aku anak tiri Ibu Maryam, beliau telah meng-Islamkan aku dan ayahku. Maafkan aku soal yang kemarin, bolehkah aku gabung dengan kalian? Aku tak kenal siapapun disini kecuali kalian.
Likha               : “Kenapa harus tidak? Iya kan temen – temen…??”
Mirna               : “he’em… maafin kita – kita yah, kemarin udah bikin kurang nyaman”
Najma              : “Iyah, aku juga minta maaf yah… oh ya satu lagi, kamu mau nggak gabung ke group acapella kita?”
Dea                  : “Emang boleh gitu???”
Marni               : “Boleh dooong…. Kita mau ikut lomba acapella tapu kurang 1 orang.”
Dea                  : “emmm…. Boleh”
Akhirnya dea pun diterima oleh mereka. Mereka terus berlatih dan berlatih. Sampai suatu saat Likha mengajak keempat sahabatnya untuk berlatih dirumahnya. Awalnya dea menolak, karena ia masih belum siap untuk bertemu dengan umi. Namun Najma terus membujuknya, hingga ia pun mengalah. Saat bertemu dea dengan pakaian rapih berbalut kerudung, umi memang kaget dan tak mengerti. Hingga Likha pun menjelaskan semua tentang Dea selama ini pada umi dan Alhamdulillah umi pun bisa menerimanya. Detik  detik begitu cepat berkejaran dan berganti menit, menit demi menit berlalu berganti jam. Hari demi hari mereka lalui bersama, menyibukkan diri berlatih acapella hingga berjumpa pula lah mereka dengan hari yang ditunggu. Dengan percaya diri mereka menampilkan sebuah lagu yaitu “Sekeping Hati” dan tak disangka mereka menang sebagai juara pertamanya. Sungguh hasil tak pernah menghianati usaha.
Najma  : “Ternyata bersama itu lebih indah ya, Syukron Katsir Yaa Rabb, telah menghadirkan mereka dihidupku.” J
Labels:

Post a Comment

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.