Marni, Perempuan Pengemis
Oleh Rini Luthfiyani*)

Namaku Marni, aku terlahir dari seorang janda miskin yang pindah dari kampung ke Jakarta. Ayah dan ibuku telah lama berpisah, karena ayah sering kasar terhadap ibu, aku, dan Nia, adikku. Sekarang ayah lebih memilih kawin lagi dengan janda kaya di kampungku, sampai ia tega mengusir kami. Ayah pun lantas, menjual rumah dan tanah yang kami miliki. Dan kini, kami pun tak punya apa-apa lagi.
Karena bingung kami akan tinggal dimana, ibu pun memutuskan untuk pindah dan memboyong kami ke Jakarta. Awalnya, ibu mengira bahwa dengan pindah ke Jakarta, kami bisa hidup layak dan lebih baik lagi. Tapi nyatanya, hidup kami di Jakarta jauh lebih buruk ketimbang saat kami di kampung dulu. Wajar saja, jika kerasnya kota metropolitan ini menjadikan aku, ibu, dan adikku semakin menderita.
Padahal, sebelumnya aku punya mimpi, aku ingin bersekolah tinggi, bahkan punya tekad kuat jika suatu saat Allah memperkenankan aku mengemis ilmu di pesantren, di rumah ilmu keagungan-Mu. Ah, entahlah! Mungkin itu hanya mimpi. Karena saat ini, akibat keluargaku diusir ayah, aku putus sekolah.
Hari demi hari, kami lewati hidup dengan peluh keringat yang menetes hanya demi sesuap nasi. Kami hanya tinggal di sebuah gubuk reyot, kotor, kumel, beratap papan, beralas kardus, dan koran bekas. Sehari-hari ibuku bekerja sebagai tukang cuci keliling, ia menawarkan jasa ke sana-ke mari, dari satu rumah ke rumah yang lain. Ibu berangkat kerja dari pagi hingga petang. Sementara, aku yang hanya menganggur, tinggal di rumah, hanya bisa diam, meskipun kerap merasa kasihan pada ibu. Ibu rela bekerja keras sedemikian gigih hanya untuk menghidupi kami, kedua anaknya. Bahkan, ibu sampai melarang kami untuk ikut bekerja, dan sekedar membantu meringankan pun jangan. Kelamaan, semakin aku tak tahan melihat ibu terus-menerus bekerja tanpa lelah saban hari. Makanya, aku bertekad mulai sekarang aku harus bekerja, tak peduli apapun itu pekerjaannya. “Ya, aku harus bekerja, agar aku bisa mendapatkan uang untuk ibu dan adikku”, gumamku dalam hati.
Pagi saat itu, ibu sudah pergi berangkat kerja, akupun tak ambil diam, langsung bergegas untuk berikhtiar mencari pekerjaan. Saat kumelangkahkan kaki dan mulai beranjak pergi, adikku yang kala itu masih nyenyak tertidur, terbangun. Ia melangkah mendekatiku, “Kak, kakak mau kemana, bukankah ibu bilang kita nggak boleh pergi kemana-mana?”, ucap Nia kepadaku. Akupun tersenyum, “De, sekarang kakak ingin cari kerja, kakak ingin membantu ibu, kakak sudah nggak tahan melihat ibu bekerja sendirian”, jawabku sambil mengelus rambut adikku, meyakinkan.
“Bukankah ibu melarang kita untuk bekerja kak?”, tanyanya lagi dengan heran. Aku yang sebetulnya masih ragu, menghela nafas panjang dan menatap lekat wajah adikku. “De, keputusan kakak sudah bulat, karena itu tolong ya jangan kasih tahu ibu, kalau kakak sekarang ingin bekerja!”. Adikku mengangguk. “Ya sudah, kakak pergi dulu, kamu baik-baik di rumah, cepat kamu mandi dan sarapan”, anjurku sembari mengecup kening adik, lantas pergi meninggalkannya, sambil ia menatapku di ambang pintu.
Kuselusuri jalan dengan langkah tergopoh, hingga sampai di sebuah pasar. Di suasana pasar yang begitu ramai, aku melihat seorang anak yang bila kutaksir, ia seumuran denganku. Ia membawakan keranjang belanjaan ibu-ibu menuju mobil angkutan. Setelah sampai mengantarkan, ibu-ibu itu pun lantas memberikan beberapa lembar uang untuk anak yang telah membantunya barusan. Akupun menerka-nerka, bahwa dia bekerja dengan menawarkan jasa angkut barang belanjaan.
Tanpa pikir panjang, akupun sigap menoleh dan berlari ke arah ibu-ibu yang tengah kerepotan di ujung jalan sana. Akupun sampai menghampirinya, “Ada yang bisa saya bantu?”, tawarku dengan ramah. “Bisakah kamu bantu bawakan belanjaan ibu sampai ke ujung sebrang sana, nak?, timpal sang ibu, sambil menunjukkan sebrang ujung jalan yang dituju. “Bisa, bisa bu”, jawabku girang. Akupun berjalan tergopoh dengan seabrek barang belanjaan. “Alhamdulillah, akhirnya sampai juga”, gumamku dalam hati.
Tak berselang lama, sesampainya di sebrang jalan yang dituju, si ibu pun memberikan tiga lembar uang ribuan untukku, aku pun menerimanya dengan santun, “Terimakasih banyak ya bu!”, ucapku pada si ibu. Kami pun saling berangguk kepala dan berbalas senyum.
Panas matahari semakin menyengat, aku yang dari tadi menunggu, mulai jenuh menanti ibu-ibu lain yang mau dibawakan barang belanjaannya. Bahkan kerap kali, aku sudah berlari-lari dan menawarkan jasa angkut, tidak sedikit dari mereka yang menolak untuk kubawakan barang belajaannya. Tanpa menyerah, akupun mulai mencari pekerjaan di tempat lain, dengan harapan barang kali saja aku bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan.
Akupun mulai menyelusuru trotoar di sepanjang jalan, di tengah perjalanan, kakiku terhenti, saat melihat gerombolan anak-anak seusiaku. Bahkan, banyak di antara mereka yang terbilang masih kecil seusia adikku. Aku yang dari kejauhan, melihat mereka saling bertebaran, berlari menghampiri mobil-mobil mewah, entah itu di saat lampu merah ataupun sedang dalam keadaan macet. Rupanya mereka mengamen. Gerak-gerik mereka pun terus kuperhatikan, seksama. Aktivitas mereka serupa tapi beragam, mereka bernyanyi seadanya, ada yang memaki gitar kecil, kecrek dari tutup limun, atau sekedar menepukkan tangan.
Semakin intens kuperhatikan, mereka pun mulai menyodorkan bekas aqua gelas atau plastik bungkus permen yang usang, ke dekat kaca mobil, sebagai tanda mengharap belas kasihan para dermawan untuk sekedar memberikan uang receh. Ya, aktivitas ngamen ini mereka lakukan, terus berulang-ulang. Berpindah gesit, dari satu mobil ke mobil yang lain.
Lagi-lagi, tanpa pikir panjang, aku langsung bergerak ke sana-ke mari, menoleh ke bawah, dengan maksud mencari kepingan tutup limun di sekitar warung-warung. Setelah kurasa cukup, beberapa kepingan tutup limun itu aku jadikan lempengan, jadilah kecrek. Bersusah payah membuatnya, aku pun segera beraksi.
Entah ada angin apa, glek, pikir dan hatiku berkecamuk tak karuan, hatiku seakan mendesah, “Ya Tuhan, aku jadi pengamen, aku jadi pengemis”, “Marni, seorang perempuan pengamen, seorang perempuan pengemis”, hatiku menjerit. Maafkan aku bu! Jika aku terpaksa mengemis seperti ini. Setelah mengela nafas panjang, aku pun berusaha tegar, yakin bahwa ini adalah pilihan halal.
Aku mulai melangkahkan kaki ke arah kerumunan mobil-mobil yang penuh sesak di persimpangan lampu merah. Dengan modal bernyanyi sebisanya, sambil ku tabuhkan kecrek usang buatanku tadi. Kupegang kecrek di sebelah tangan kanan, lalu kutepukkan kecrek itu ke tangan kiri. Demikian kulakukan, berulang-ulang.
Tak terasa, peluh keringat mulai mengalir deras, menetes dari sekujur badan. Ya, siang itu benar-benar sengat matahari terasa lebih panas dari biasanya. Aku yang mulai kelelahan, memutuskan untuk istirahat sejenak di pinggir trotoar jalan. Aku pun duduk perlahan. Tenggorokanku terasa kering, ingin sekali rasanya aku meneguk, meski sekedar segelas air putih. Perhatianku tertuju uang hasil kerja seharian, aku pun mulai mengeluarkan semua uang-uang yang telah berhasil kudapatkan.
Namun entah mengapa, hatiku kembali menjerit, ucapan ibu sewaktu masih di kampung selalu terngiang di telingaku. “Sesusah-susahnya kita, jangan sampai kita mengemis, mengharap belas kasihan orang lain!”, inilah pesan ibu yang semakin memekikkan telingaku. Aku mendesir, mengemis itu sama saja halnya dengan menngamen, yang barusan aku lakukan. Tanpa terasa, dari kedua sudut mataku butir-butir bening air mata menjadi deras, kuyup membasahi pipiku.
“Ya Allah … maafkanlah aku yang tak bisa menjaga amanah dari ibuku, aku sungguh terpaksa melakukan hal ini ya Allah!”, gumamku dalam hati dengan penuh rasa sesal. Perlahan, aku mulai tegar. Akan tetapi, seketika itu aku kaget bukan kepalang, tersentak, karena seakan-akan tanganku berada dalam genggaman para bodyguard renternir, penjilat, yang bertubuh kekar dan tinggi besar. Ternyata ini benar, kini aku sedang berada dalam kepungan para preman jalanan.
“Hei, serahkan semua uang itu pada kami!”, pinta salah seorang preman itu padaku dengan garang. Aku semakin kalut, “Ya Allah … mereka menginginkan uang hasil kerja kerasku”, desisku dalam hati. Aku mulai tak kuat menahan rasa sakit, sebab sedari tadi mereka menggemgam keras tanganku. Mereka semakin kasar, mereka mengambil semua uang hasil mengamenku tadi. Aku yang tak mau diperlakukan keras, berusaha berteriak meminta tolong, namun apa daya, usahaku sia-sia. Tak ada seorang pun yang mendengarkan jeritanku itu. Aku hanya bisa pasrah pada Allah, meskipun sulit rasanya mengikhlaskan kejadian itu, aku berdo’a dengan penuh yakin, semoga suatu saat Allah berkenan membalas semua perbuatan jahat para preman itu, dan uang yang meraka ambil suatu saat dapat tergantikan.
Sementara itu, Bu Maimun, ibuku, tampak gelisah memikirkan putrinya, “Nak, apakah kau tadi hendak menyakan kemana kakakmu itu pergi?”, tanyanya pada Nia, adikku. “Nia nggak tahu Bu”, jawab nia terbata. Di takut dimarahi Marni nanti, kalau dia jujur pada ibunya.
Bu Maimun makin panik, ketika di luar tampak hujan deras, petir menggelegar bersahutan kilat. “Marni … kamu dimana nak?”, desisnya dalam hati. Nia, yang terikut cemas, akhirnya tak tega melihat ibunya sedih. Dan secara perlahan, Nia pun akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya. Bu Maimun menyimak dengan seksama tiap apa yang dituturkan oleh Nia. Sejenak, setelah tahu kejadian yang sebenarnya, Bu Maimun pun tak pikir panjang, bergegas berlari ke luar rumah untuk mencari anaknya, Marni.
Saat baru membuka pintu hendak ke luar rumah, terlihat sesosok gadis di sana, basah kuyup diterpa hempasan derasnya air hujan. Ternyata, dialah Marni, yang sejak tadi ia cemaskan keberadannya.
Bu Marni pun berlari cepat, tanpa pikir panjang, menghampiri Marni dengan sendu isak tangis, Marni pun dipeluknya erat. Beranjaklah keduanya menuju rumah. Sesampainya di rumah, Marni pun berusaha menenangkan anaknya, mereka pun berpelukan erat, Nia sang adik pun larut dalam peluk dan tangis. Di tengah pembicaraan Marni menceritakan kejadian aktivitasnya seharian, “Ini semua gara-gara ayah Bu, aku benci ayaaah!”, teriak Marni dengan air mata yang terus berderai. Bu Marni berusaha menenangkan, memberi pengertian.
Kerasnya hidup di Jakarta, membuat siapapun yang menjalaninya acap kali tak kuat dan putus asa. Namun Bu Maimun tetap setegar karang, hempasan ombak permasalahan hidup, tetap ia jalani dengan suka cita bersama anak-anaknya. Tak ada kata menyerah. Hanya dengan kekuatan do’a dan keyakinan kuat akan Allah Swt, segala kesukaran dalam hidup dapat terpecahkan dengan baik, meski perlahan. Ya, ibu selalu mengajarkan pada anaknya untuk tidak berputus asa, selalu optimis, bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. Makanya, ibu selalu mengajarkan kami demikian, dan tak kalah penting untuk rajin bersedekah, dan membantu sesama.
Inilah ke-Mahadahsyatan Allah, kisah hidup ibu adalah teladan berharga bagi kami, ke dua anaknya. Kisah hidup keras ibu dalam menghidupi kami, pengalaman menjadi pengemis jalanan saat itu, dan berkat do’a tiada henti, ini semua telah berbuah manis, dimana pada hari itu, dengan tanpa diduga sebelumnya, ada seorang hamba Allah yang berbaik hati, yang langsung memberi kesempatan yang luar biasa bagiku dan adik untuk melanjutkan sekolah. Adikku mulai belajar di sebuah taman kanak-kanan, sementara aku memutuskan untuk belajar di pesantren, sesuai dengan impianku waktu itu. Sedangkan ibu, kini sudah mulai berjualan di toko yang dibiayai hamba Allah itu. Saat kami sekeluarga menanyakan hal ini lebih lanjut, seorang hamba Allah yang tak mau disebutkan namanya itu, hanya berujar, “Ini sudah ketentuan dari Allah, bagi hamba-hambanya yang sabar dan kerja keras”. Manfaatkan uang ini dengan baik, semoga kehidupan kita semakin diberkahi Allah, tegas hamba Allah itu dengan santun. Tak berselang lama, ia pun lantas pergi, sambil meninggalkan secarik kertas berisi alamat rumah dan segepok uang jutaan rupiah.
Subhanallah. Inilah jawaban Allah atas gigihnya perjuangan dan do’a kami sekeluarga; Berawal dari menjadi pengemis rahmat Allah, pengemis di jalanan, akhirnya menjadi pengemis ilmu Allah di pesantren. Alhamdulillah, sujud syukurku pada-Mu ya Allah.

Labels:

Post a Comment

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.