SELEPAS PERIHKU

                        Karya  : Fi'liyah MANU Putri Buntet Pesantren
 
Mentari masih tertawan awan kelabu pagi ini. Hangatnya, belum menyapa pagiku. Buliran air hujan mulai menyentuh pori bumi. Tetesannya mengiringi sendu nada tangisku. Bukanlah cinta atau kehidupan yang menjadi alasan kesedihanku. Tetapi, jalan hidup yang sedang kulalui.
Adapun rindu yang menderaku, bukanlah kekasih yang ingin kujumpai. Tapi masa-masa di saat aku menjadi siswa yang selalu menggali potensi diri. Mereka pembimbingku (guru) selalu meyakinkanku tuk dapat menjadi siswi terbaik di SMA unggulan yang ada di kota kelahiranku. Ternyata, harapan mereka dan impianku tak sejalan dengan garis hidupku.
Kini, aku berada di sebuah rumah mewah yang menjadikanku seorang pembantu. Terdengar sedikit hina. Tapi ku mencoba tuk tidak menghiraukan opini mereka tentang pekerjaanku agar tetap terjaga ketenangan hatiku.
“SYAFA”
Nama yang selalu mereka sebut saat menginginkan sesuatu, baik untuk sekedar mengambilkan tisu atau mengangkut barang-barang yang baru mereka beli. Namaku tak pernah terdengar lirih saat merka memanggilku. Tak ada maaf jika kesalahan tidak sengaja ku lakukan.
Aku tak pernah mengingkan hal ini dan tempat yang ku tinggali kini. Namun, rumahku bukanlah pelindungku. Karena tak lagi ada satupun sanak saudara. Ibu meninggalkanku saat hari pertama aku menjalani Ujian Nasional (UN) di Madrasah Tsanawiyah. Ia pergi menyusul ayahku untuk selamanya. Hanya tinggal ayah tiriku, dialah yang memasukkanku ke dalam istana neraka ini. Istana orang-orang yang hanya mencantumkan agamanya dalam kartu identitasnya, bukan dalam hatinya. Dan mereka tak pernah mengingat Tuhannya.
“Syafa! Ambilkan segelas bir dalam kulkas!”
Lantang suara itu membuyarkan lamunanku. Ku usap air mata dan segera memenuhi perintahnya.
“Maaf, Nyonya... seharunya Nyonya sudah tidak boleh minum air keras lagi. Itu akan semakin merusak paru-paru Nyonya, dan Nyonya akan semakin menumpuk dosa.”
“Brengsek kamu! Sok sekali ikut urusanku.”
Lalu ia berlalu meninggalkanku menuju kolam renang di sisi rumah.
Hari ini adalah hari ke-90-ku bekerja. Sejak sebulan pertama, aku minta untuk berhenti. Namun, Nyonya telah membayar besar pada ayah tiriku untuk menjadikanku sebagai pembantu. Dan ia tak mau dirugikan.
“Aku menahan gajimu selama 1 tahun,” ucapan itulah yang menjadi pertimbanganku saat ku hendak meninggalkan rumah ini.
Saat semua jalan menjadi buntu, ku putuskan untuk pergi secara diam-diam. Hanya berbekal uang 20.000 yang ku ambil di atas meja. Aku segera pergi tinggalkan rumah itu. Meski, ku tak tahu arah dan tujuanku.
Uang 20.000 hanya mengantarkanku sampai ke terminal Kota Subang. Aku berjalan kaki menuju desaku. Di setiap langkah, aku terus berpikir. Ayahku tak akan membiarkanku menginjakkan kaki di rumah peninggalan ibuku. Dia mengharuskanku bekerja, tak boleh meneruskan pendidikan.
Kemudian sekitar 2 km mendekati rumahku, aku bertemu dengan guru bahasa Inggrisku ketika sekolah di Madrasah Tsanawiyah.
“Syafa’ah!” wajahnya terkejut.
“Pak!”
Segera ku menyalaminya. Tak terasa air mata membasahi pipi. Terasa bahagia berjumpa dengan guru yang selalu menjadi sahabatku.
“Kamu sudah pulang dari Jakarta?”
Hanya senggukan yang mampu kujadikan jawaban.
“Aku tak ingin kembali ke rumah itu. Ayahku telah menjualku pada mereka untuk dijadikan budak,” ku curahkan kepedihanku padanya.
“Astaghfirullah…! Sungguh, Syafa’ah?”
“Ya. Orang itu sangat kejam, tak pernah terjaga ucapan dan sikapnya.”
“Ya sudah, kau tenangkan dahulu pikiranmu. Tinggallah sementara dengan Bapak untuk sementara. Nanti kita cari solusinya bersama-sama.”
Dengan tubuh lusuh dan layu aku berjalan beriringan dengan Pak Hasan. Itulah namanya. Sesampainya di rumah beliau, aku diberimakan dan minum untuk memenuhi panggilan perutku yang keroncongan.
“Begini saja, Syafa’ah, Bapak tawarkan kepadamu untuk memilih apakah sekolah di SMA Taruna, sekolah impianmu, dengan syarat menjadi penjaga koperasi sekolah di setiap jam istrirahat, atau tinggal di pesantren menuntut ilmu agama tetapi di Madrasah Aliyah Swasta. Kamu pikirkan malam ini dan harus menemukan jawabannya esok hari.”
Keesokan harinya aku telah memutuskan satu pilihanku tuk tinggal di pesantren. Mungkin selama ini aku terlalu jauh dengan Tuhanku dan kesempatan ini akan ku gunakan untuk memperbaiki diri.
“Tapi, Syafa’ah, Bapak tak sanggup jika harus membiayaimu keduanya (biaya pesantren dan sekolah). Jika kamu memilih pondok pesantren maka kamu harus menjadi khodim kyai. Maka Bapak harus memayar bulanannya cukup membiayai sekolah dan kebutuhan sehari-harimu.”
“Apa itu semacam pelayan.”
“Mungkin. Tapi tepatnya adalah abdi kyai.”
“Ya. Aku siap dan aku pasti bisa melewatinya. Karena aku akan hidup bersama orang-orang shaleh dan baik.”
Seminggu kemudian, Pak Hasan mengantarkanku menemui sang kyai di sana. Pak Hasan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami. Entah apa saja yang mereka bicarakan, tapi mayoritas kata yang diucapkan berakhiran ‘O’.
“Monggo! Monggo! Kulo terimo.”
Mungkin itu ucapan sang kyai yang menandakan ia menerimaku. Mulai sejak hari itu aku memasuki dunia baruku. Dunia pesantren. Aku memilih pesantren di antara alasannya adalah untuk menjauh dari ayah tiriku.
Esok harinya, pengurus pondok mengantarkanku ke sekolah aliyah dan aku terkejut tak ada satu pun siswa berada di dalamnya. Hanya ratusan siswi yang bersekolah di madrasah yang baru kupijaki ini. Tapi itu akan lebih baik, karena akan terhindar dari konflik percintaan.
Aku merasa nyaman dengan dunia baruku. Meski setiap hari harus memasak untuk pada santri, tapi aku bangga berada di lingkungan pesantren ini. Karena banyak ilmu syariat yang dapat kupelajari. Tak hanya itu di sekolah baruku ada kompetisi Bahasa Inggris yang hadiahnya adalah dikirimkan ke kampung Bahasa Inggris di Pare, Jawa Timur. Aku bersemangat dan berusaha menjadi pemenangnya agar aku dapat menapaki tangga menuju cita-citaku. Dan aku yakin Pak Hasan akan merasa bangga.
“Selamat, Syafa’ah, bulan depan kamu akan kami kirim ke Pare untuk memperdalam Bahasa Inggris selama 2 bulan. Semua biaya hidup dan kebutuhanmu sekolah yang akan menanggung.”
Kepala sekolah menyampaikan berita gembira ini kepada seluruh siswi Madrasah Aliyah Al-Mujibiyyah.
Akhirnya aku berhasil memenangkan kompetisi ini. Segera ku kabari pak Hasan dan tak lupa aku menyampaikan kabar ini pula pada Kyai-ku. Keduanya sangat bangga.
Hingga tak terasa 2 bulan berlalu. Setelah kembali dari Pare aku kembali menjalani kehidupan di pondok pesantren. Sampai tak tersadari 3 tahun berlalu. Dan aku harus meninggalkan pesantrenkuu.
Kini aku berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Jogjakarta. Dan semua ini karena aku lulus bidik misi. Di waktu liburku, ku manfaatkan untuk mengajar privat Bahasa Inggris. Bahkan aku bisa membalas kebaikan Pak Hasan meskipun mungkin tak seberapa, setiap bulan aku menstransfer ke rekeningnya. Karena saat ini beliau sudah pensiun sebagai PNS.
“INILAH AKHIR YANG INDAH”
Sempat ku impikan satu kalimat indah terucap dari lihdaku dan hari ini aku merasakan indahnya.
Terimakasih Ya Rabb, rencana-Mu begitu indah. Meski kehidupan Jogjakarta sedikit keras tapi dengan keimanan dan ketauhidan yang ku mantapkan, aku tetap bisa menjaga diri dari segala perbuatan buruk yang disebkan oleh pergaulan bebas. Dan sungguh Rasul-Mu telah mengingatkanku dan umat lainnya untuk menuntut ilmu untuk menggapai kebahagiaan duniawi dan ukhrowi.
من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الأخرة فعليه بالعلم ومن أرادهما فعليه بالعلم
Labels:

Post a Comment

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.