“DUNIA ORANG DEWASA”
Oleh : Nur Sholekhatun Nisa

Panggil saja si mata bulat itu ; Haura. Si mungil berusia 11 tahun yang sangat cerdas, kritis dan cerewet. Baru sekitar 6 bulan menjadi seorang santriwati di salah satu pesantren besar kota Cirebon. Sejak kecil tumbuh dalam asuhan Ummi kebanggaannya : sesosok dewi cantik yang pernah memberinya kehidupan dalam sebuah ruang sempit bernama rahim. Ummi-nya tidak pernah ragu untuk menitipkan Haura dipesantren. Sejak duduk di sekolah dasar Haura meminta sendiri untuk menjadi seorang santriwati dan menjadi perempuan hebat kelak : itu katanya.
*******
Bab Haidh??!
Kening Haura lagi-lagi mengkerut, dua alis tebalnya hampir menyatu. Ditangannya tergenggam sebuah kitab, Rishalatul Mahid. Itu kitab Dirosah santri   atas atau tingkat tiga, tapi si mungil yang masih duduk di tingkat satu ini sangat penasaran dengan isi yang ada didalamnya. Berkali-kali Ia mencoba memahami otodidak, tapi tetap saja. Separuh bebal.
Haura belum pernah mengalami menstruasi atau Heidh. Padahal hampir semua rekan seumurannya sudah mengalaminya. Tapi buat si mata bulat dan indah itu, tidak ada alasan untuk memahami kitab tentang Risalah haidh tersebut walaupun ia belum pernah mengalaminya.
“Ra, nanti malam kamu siap kan jadi Delegasi dari komplek kamar kita?” Zubaidah mengerlingkan matanya ke pojok kamar, Haura ada disana, sibuk dengan beberapa kitab yang sedang coba ia apahami.
“Insya Allah Mbak, sudah ada beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan untuk Musyawarah Akbar Batsul Kutub nanti malam,” senyum dari bibir mungilnya mengembang, tetapi dibarengi dengan wajah yang masih amat polos.
“Yakin? nanti malam kita bahas Bab Haidh loh, kamu kan belum Haidh, Ra?” Asiyah menimpali dari balik pintu kamar. Matanya seolah meledek ke arah Haura.
“Memangnya ada larangan bertanya untuk santri yang belum Haidh?” mata Haura siap mencakar Asiyah. Sangat tidak suka jika hal yang satu itu mulai dibahas. Belum Haid. Dan itu bukan suatu alasan untuk membatasi apapun yang ia pahami. Begitu kan?
Asiyah hanya tersenyum kecut, tidak enak hati dipandangi demikian oleh Haura. Si mungil yang sedikit merasa terusik dengan guyonan Asiyah. Asiyah mengangkat jari telunjuk dan jari tengah bersamaan di hadapan Haura. Lalu tersenyum.
“Saya juga akan bertanya hal-hal yang justru karena saya tidak tahu tentang itu,” ujar Haura sambil menyibak halaman-halaman kitab yang masih khusyuk ia baca untuk persiapan Batsul kutub nanti malam. Beberapa buku tentang kesehatan reproduksi juga tergenggam ditangannya.
“Usahakan pertanyaan yang ringan yah, Ra. Kasihan kang Zidan, nanti dia mati kaku sama pertanyaanmu yang macam-macam lagi. Haha” Zubaidah kemudian mencoba mencairkan suasana di kamar, membuat lelucon ringan dengan gaya ironi. Dan, seisi kamar terbahak, sukses menggempur Haura dengan candaan. Haura tertawa lebar.
Yah, begitulah Haura. Yang membuat ia unik, anak itu kerap menyimpan banyak pertanyaan-pertanyaan yang kadang tidak sesuai dengan seumurannya. Hobbynya adalah bertanya. Apapun. Dari yang penting sampai tidak sangat penting. Tapi haura tidak suka dengan jawaban yang menurutnya menyebalkan. Ia pernah beberapa kesempatan bertanya pada kakak tingkat, tapi yang ada mereka tidak memberi jawaban yang memuaskan. Ada yang malu-malu menjawab, ada yang enggan menjelaskan, ada yang acuh, bahkan ada juga yang menjawab dengan menyalahkan keadaan Haura, alias gara-gara Haura belum Haidh.
“Mbak, haidh itu bagaimana sih?”
“Ya, yang kaya gitu...”
“Mbak, haidh itu bentuknya seperti apa dan keluar dari mana?”
“Ngapain sih anak kecil tanya-tanya. Nanti juga faham sendiri,”
“Mbak, kalau orang Haidh itu pasti punya rahim yah? Atau tidak?”
“Ya mana aku tahu, makanya jadi Orang Dewasa!”
“Mbak, Apa sih Dewasa itu?”
“Makanya cepet Haidh, nanti pasti Dewasa!”
Haura tidak butuh jawaban-jawaban yang tidak memuaskan. Haura hanya ingin lebih faham, agar ia mampu menjadi Perempuan yang dapat tumbuh dewasa.
Apa menjadi Dewasa itu meyeramkan? Apa benar yang selalu dikatakan orang-orang kalau orang dewasa itu egois? Memangnya seperti apa dunia orang dewasa yang mereka maksud? Kira-kira kapan aku akan menjadi dewasa? Bagaimana aku bisa dewasa jika bertanya saja membuatku selalu di judge yang tidak-tidak? Apa belum Heidh berarti belum Dewasa? Lalu apa yang harus aku lakukan agar segera Haidh dan segera Dewasa? Ah!
Batin Haura kerap berseteru. Ringan, tapi dengan banyak pertanyaan yang kadang membuatnya pusing sendiri. Haura mungil, haura yang kritis. Sangat.
*******
            Aula Asrama ramai. Batsul kutub sudah dimulai satu jam lalu. Kegiatan rutin ini ialah semacam pembedahan kitab dari bab ke bab. Sebuah agenda mingguan yang selalu ditunggu-tunggu oleh para santri baik putra ataupun putri. Pada kesempatan itu disebut juga dengan Musyawarah Akbar,  biasanya dipimpin oleh Kang Zidan, putra bungsu Abah yang masih berumur 20 Tahun.
Semua santri yang menjadi Delegasi dari komplek kamar masing-masing berhak untuk memberikan ide, menyampaikan pendapat, atau mengajukan pertanyaan. Seluruh santri dituntut untuk berfikir kritis dan memahami bab-bab yang dibahas pada tiap episode Batsul Kutub.
Malam ini Babul Haidh menjadi suatu bahasan yang menarik. Lebih menarik lagi dengan kehadiran Delegasi dari Kompleks Kamar Al-hafidz yang di wakili oleh si cerdas Haura. Satu-satunya Delegasi yang belum pernah mengalami Haidh tapi ia banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar Haidh, dan... tentang kesehatan reproduksi pula. Semua sudah bertanya, tetapi giliran pertanyaan datang dari Haura, semua hening, menunggu. Karena biasanya satu anak ini memang kerap memberikan pertanyaan yang tidak biasa.
“Ehmmm... begini Kang, nyuwun sewu, Saya hendak mengajukan beberapa pertanyaan mengenai bab Haidh yang Kang Zidan terangkan di kitab safinnatunnajah ini. Sebelumnya saya memang belum pernah merasakan Haidh itu bagaimana, tetapi pertanyaan saya adalah seperti apakah Haidh itu? Bagaimana proses terjadinya Haidh di diri Perempuan? Dibagian tubuh manakah Haidh tersebut diproduksi? mengapa Haidh dialami oleh perempuan, mengapa laki-laki tidak? Lantas, bahaya apa  saja yang ada pada perempuan Haidh? Apakah Orang Dewasa itu orang yang sudah mengalami Haidh? Dan....” pertanyaan Haura berhenti.
Seluruh pasang mata diruangan itu menerjang ke arahnya. Haura merasa ada yang aneh dengan tatapan-tatapan itu. Beberapa santri tertawa, ada juga yang hanya tersenyum geli.
“Mungkin cukup seperti itu pertanyaan saya kang, terimakasih” Haura sedikit menurunkan kepalanya membentuk ritme ucapan terimakasih.
“Baiklah, mungkin hal ini lebih dalam konteks Realita. Kamu bisa tanyakan ke Ummi-mu atau Ke Guru-mu kan? Disini kita tidak membahas cara ataupun praktek reproduksi apalagi mengenai Heidh dan penjelasan detailnya. Jadi pertanyaan ini bisa diskip saja. Ada banyak pebahasan yang lebih penting untuk dibicarakan dalam bab ini,” jawab Kang Zidan. Nada suaranya terlihat tegas. Ia sudah faham betul santrinya yang satu ini bagaimana. Pasti sebentar lagi ia tahu ada adegan penyangkalan dari Haura.
“Sebentar kang,” sergah Haura. Benak Kang Zidan membenarkan. Ia tersenyum, sedikit tertantang dengan cerita Haura selanjutnya.
“Ummi saya tidak pernah memberi pelajaran tentang Haidh secara intensif kepada saya, terkadang dalam keluargapun kami saling malu-malu. Dan saya malah berharap dipesantren ini tidak hanya dijadikan sarana untuk mempelajari ilmu-ilmu agama saja ataupun mempelajari tentang perempuan dan teori Fiqihnya. Sedangkan kami, perempuan, butuh sekali Hak untuk mengetahui tentang Kesehatan reproduksi yang selama ini dijelaskan dalam teori-teori kitab-kitab fiqih. Itu adalah pendidikan penting yang tidak diberikan dalam Sekolah Formal pula. Reproduksi perempuan sangat rentan berkendala. Tapi kita tidak memahami banyak praktek dari teori yang kita pahami. Apakah kita harus tetap menjalaninya dengan katanya, kata si ini, kata si itu juga kata orang?” kalimat panjang itu keluar dari bibir Haura lagi, ada banyak Fakta yang ia ungkap. Beberapa santri mulai mengangguk-anggukan kepalanya, membenarkan kata-kata Haura.
Kang Zidan diam, ia tidak pernah menyangka Bab kali ini ditanggapi sangat luas oleh bocah yang masih berumur 11 tahun itu. Padahal selama ini pada tiap babnya, pembahasan tidak pernah dijadikan serumit ini. Tetapi ada yang sangat lain dengan pemahaman nalar Haura.
“Haura, nanti di tingkat tiga kau pasti akan mempelajari Kitab Risalah Haidh, nanti pasti di ajarkan” Kang Zidan menjawab seringan mungkin. Berharap pertanyaan Haura segera selesai dibahas. Tapi, mungkin kang Zidan salah arah jawaban.
“Kang, kenapa di pesatren ini pelajaran Risalatul Mahidh hanya diperuntukkan untuk santri tingkat III? Mereka santri-satri yang sebentar lagi boyong. Sedangkan kitab ini seharusnya di pelajari oleh semua santri yang ada disini. Semua santri perlu mempelajari itu, apalagi remaja seperti saya yang belum mengalami Haidh. Bukankah itu sebuah deskriminasi? Memangnya hanya orang-orang dewasa saja yang dipastikan memahami kitab tersebut? Orang-orang yang sudah mengalaminya. Sedangkan di pesantren ini, 70% santrinya adalah seorang PEREMPUAN. Perbandingan santri putra dan putri ialah 1:3. Lagipula, pengetahuan akan lebih baik diberikan sejak dini ‘kan?”
Lagi dan masih akan tetap lagi. Seluruh pasang mata menerjang ke arah Haura. Beberapa santri bahkan ada yag antusias membela ada juga yang terlihat takjub dan ada juga yang mengganggap Haura terlalu sok tahu dan apa yang ia bahas tidak penting.
“Haura, tapi membahas hal ini adalah Hal yang Tabu, dan itu tidak akan mungkin kita pelajari dipesantren ini. Itu senonoh namanya,” Kang Zidan mulai sedikit berubah ekspresi. Kesal. Tapi ia tidak mungkin menampakan kekesalannya pada bocah seperti Haura. Ia pasti akan kecewa, dan Kang Zidan tidak ingin dicap buruk oleh para santri karena menunjukan kekesalannya pada setiap pertanyaan Haura yang terlalu banyak.
“Kang, Saya memang tidak tahu apa-apa tentang Haidh, saya memang hanya bisa bertanya. Tapi saya yakin sebenarnya itu semua bukan hal yang Tabu. Mungkin banyak santri-santri yang berpikiran sama seperti saya, dan saya, mungkin satu dari mereka yang ingin sekali meminta penjelasan yang lebih specifik. Bukankah mengetahui itu adalah Hak kami? Jika tidak diungkap, kapan kami mendapatkan Hak kami?”
            “Bukankah dalam Kitab juga sudah dijelaskan? Apa tidak cukup? Atau kamu terlalu Dini untk mebicarakan semua ini? Begitu kan?” Mata Kang Zidan sudah merasa menang. Tapi Haura polos masih ingin mengatakan sesuatu.
“Kang, Banyak kitab-kitab yang menjelaskan mengenai perempuan serta fikih, perempuan dan auratnya, perempuan juga harus menjaga dirinya, perempuan kelak harus melayani suaminya, perempuan juga ini dan itu. Tapi, adakah kitab yang menjabarkan mengenai Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksinya?”
            Kang Zidan Hening, entah takjub, bingung atau apa. Haura kecil sepertinya sangat berbeda. Haura ikut hening. Seluruh tatap mata itupun hening. Aula jadi hening. Siapakah yang siap memecah hening malam?
Haura tidak butuh jawaban-jawaban yang tidak memuaskan. Haura hanya ingin lebih faham, agar ia mampu menjadi Perempuan yang dapat tumbuh dewasa.
Lagi, batin haura berseteru :
Apa menjadi Dewasa itu meyeramkan? Apa benar yang selalu dikatakan orang-orang kalau orang dewasa itu egois? Memangnya seperti apa dunia orang dewasa yang mereka maksud? Kira-kira kapan aku akan menjadi dewasa? Bagaimana aku bisa dewasa jika bertanya saja membuatku selalu di judge yang tidak-tidak? Apa belum Heidh berarti belum Dewasa? Lalu apa yang harus aku lakukan agar segera Haidh dan segera Dewasa? Ah!
********
Jum’at pagi dibulan Desember. Haura beranjak dari lelap. Tiba-tiba dini hari seperti ini ia merasakan  nyeri hebat di bagian abdomen-nya. Rasanya seperti dililit, padahal ia tidak pernah makan apapun yang macam-macam.
Haura segera menuju kolah, berniat untuk buang air. Namun, ada yang ganjil di bagian belakang sarung yang ia kenakan untuk tidur semalam. Ada bercak-bercak darah yang amis. Ia memeriksa celana dalam dan benar saja, bercak darah berwarna merah kecoklatan itu ada disana pula. Tiba-tiba Tubuhnya gemetaran hebat, belum pernah ia mendapati bercak-bercak itu sebelumnya. Sama sekali tidak pernah. Haura membatin. Ada banyak pikiran yang berputar-putar dikepalanya. Perasaannya jadi campur aduk. Antara takut, cemas, dan ragu-ragu untuk meyakini bahwa itu merupakan sebuah kabar gembira. Yah, kabar kebahagiaan ; Selamat datang di  dunia orang dewasa!.
Wonosobo, 16 Januari 2012
Labels:

Post a Comment

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.