PERUBAHAN?
karya :
Charisatina Maulidiyah
Mataku
menatap bosan layar laptop. Bukan hanya sekali dua kali aku menguap lebar
dipenghujung malam ini. Sungguh, aku kelelahan. Sebabnya sudah bisa dipastikan.
Selain karena deadline novel, aku juga ditugaskan untuk menjadi juri dalam
ajang penulisan cerpen bebas bertema islami karya remaja . Suatu kehormatan sekali
bagiku karena dapat dipercaya menjadi seorang juri. Hanya saja, penempatan
waktunya tidak cukup bagus dalam sudut pandangku sendiri. Ingin mundur pun
sudah tak bisa, tak enak hati lebih tepatnya. Alhasil, selama empat jam ini aku
disibukan oleh kegiatan menilai yang bisa dibilang membosankan, apalagi jika tak menemukan
cerita yang menarik. Bagiku pribadi.
“Bahasa
yang kurang rapih, ending terlihat dipaksakan dan oh...ada beberapa cerita yang
melencang dari fakta. Aku jadi bingung bagaimana menilainya”.
Kepalaku
mendadak menjadi pusing, aku melepaskan kacamata baca yang sedari tadiku
kenakan, sedikit memijat-mijat dahiku yang diklaim sebagai pusat rasa pusing
yang mendera. Ah, pekerjaan mudah bisa menjadi sulit juga ternyata.
“Sepertinya
aku harus berwudlu”,
Dan untuk lima menit berikutnya, aku
kembali disibukan dengan penilaian atas lomba yang diadakan kampusku beberapa
waktu lalu. Aku membuka sebuah email dari salah satu peserta yang belum sempat
kunilai.
Klik klik
Laman
itu terbuka, menampilkan judul cerpen yang menggelitik perutku. Apakah anak ini
adalah seorang pujangga?, benakku terus memfantasikan hal-hal konyol. Dan
kendati demikian, aku penasaran dengan cerita ini. Semoga sesuai dengan
ekspetasiku. Oh bukan yang buruk tentunya.
Pangeran
kegelapan yang bersinar
Namaku adalah Reihan
Dirga Putra, umurku baru menginjak tujuh belas tahun. Aku adalah seorang
santri. Kira-kira sudah tiga tahun aku mondok disana. Dan Alhamdulillah, pak
kyai mempercayai aku untuk menjadi ketua di santri putra dalam akhir
pengabdianku ini.
Menelisik dari judul, mungkin sebagian orang akan geli
melihatnya, kalau kata temanku, judulnya seperti tulisan karangan remaja putri
yang sedang terserang virus cinta. Dan yah, aku terpaksa harus mengakuinya.
Kendati demikian, judul itu sebenarnya tidak terlalu terkait dengan karyaku
ini, atau lebih pastinya terkait tapi sedikit. Aku tidak akan menceritakan
orang lain disini. Aku akan menceritakan diriku dan islam NU-ku.
(Entah mengapa, bibirku tertarik membentuk
senyuman. Cerita yang sangat langka.)
Sebelum mondok, aku ini dulu terkenal sangat nakal. Suka
keluar malam, bolos sekolah, ngerokok, kabur dari rumah, dan beberapa hal kecil
seputar kenakalan remaja. Untung saja saat itu aku tidak sampai mabuk dan
melakukan pergaulan bebas. Yah, bagaimanapun juga, didikan almarhum orang tuaku
masih melekat.
Membicarakan soal orang
tua, mereka semua sudah meninggal ketika aku berumur sepuluh tahun. Meninggal
dalam kecelakaan ketika mereka menuju Jakarta sehabis dinas keluar kota. Tragis
memang. Sepeninggal mereka, aku dirawat oleh bibiku yang tinggal di daerah
Cirebon, Jawa Barat. Menempuh pendidikan disana hingga tamat sekolah menengah
pertama. Dan tebaklah, meski aku jarang masuk sekolah dan kebanyakan melanggar
peraturan, nilaiku selalu memuaskan.
Aku termasuk murid populer di sekolahan, kalau
diingat-ingat, aku sudah mulai berpacaran ketika diriku duduk dibangku pertama
SMP. Dan sejak saat itu, aku sering gonta-ganti pacar. Cap seorang playboy
sejati sudah melekat padaku. Tentu saja aku bangga akan julukan itu dulu. Aku
tampan, cerdas, dan kaya. Memang siapa yang tak mau denganku?. Begitulah aku
dimasa lalu. Saat itu, aku belum terlalu memperdalami agamaku sendiri, Islam.
Aku hanya tahu sebatas sholat, dan puasa saja.
Suatu hari, bibi memaksa aku untuk mondok dipesantren.
Beliau menerangkan letaknya yang tak terlalu jauh dari kota. Katanya, ia takut
kalau nantinya aku akan terjerumus dalam tindakan negatif, beliau juga berharap
jikalau nantinya aku bisa lebih mendalami mengenai agamaku sendiri. Respon
pertamaku tentu saja menolak.
“Bibi jangan mengaturku
seenaknya. Aku tidak ingin hidup dalam kekangan yang berlebih seperti itu.
Lagipula, aku bisa belajar soal agama dari paman, kan?!”. Aku ingat sekali.
Malam itu adalah pertama kalinya aku menggentak bibiku. Padahal selama aku
hidup denganya, aku belum permah sekalipun berbicara dengan intonasi tinggi.
“Bukan seperti itu Rei. Dalam lingkungan pesantren, kamu
akan diajarkan segalanya. Disana juga kamu akan terlindungi dari maraknya islam
radikal. Bibi hanya ingin yang terbaik untukmu. Sekarang bibi tanya, apa
cita-citamu?”. Bibi menatapku dengan penuh kasih sayang. Bibi sangat
menyayangiku. Aku tahu dari sorot mata kelamnya. Senua itu terpancar dari sana.
“Menjadi seorang
penulis seperti ayah”. Jawabku tanpa ragu, masih dengan sisa amukan beberapa
saat lalu.
“Kamu akan melakukan
apapun untuk menggapainya kan?”. Sekali lagi, wanita yang diusianya masih
terlihat cantik bertanya.Bukan sebuah pertanyaan sulit, bukan juga hanya
sekedar sekelumit kata. Dibaliknya ada hal yang tak aku tahu. Begitula bibiku
yang memiliki wawasan luas.
“Iya tentu”. Jawabku
tanpa ragu untuk kedua kalinya, menunggu inti ucapan bibi kemudian.
“Seperti halnya
denganmu, mendiang orangtuamu juga memiliki cita-cita. Mereka ingin kau menjadi
anak yang sholeh, Rei. Anak yang sangat memahami agama yang telah mereka
ajarkan padamu.Mereka ingin kau seperti itu. Kau tahu?, anak yang soleh akan
membawa orang tuanya masuk surga. Kau tak ingin membahagiakan mereka?
Rei dengar. Bukan
berarti bibi tidak sayang lagi denganmu atau ingin mengekang dirimu. Hanya
saja, dijaman yang sekarang, tidak ada lagi tempat aman untuk mendidik,
satu-satunya ya hanya pesantren. Lagipula, disana kau tidak akan merasa
kesepian lagi. Bibi yakin. Dan, cita-cita orangtuamu untuk menjadikan kau
sebagai anak soleh juga akan tercapai. Mengertilah sayang”, bibi merengkuh
pundak ku. Ah, dia terasa sangat hangat. Aromanya mirip dengan ibu. Didikannya
mirip sekali dengan ayah.
Sejak saat itu, aku bertekad untuk tidak lagi membuat
bibi kecewa, apalagi orang tuaku yang sudah berada disisi Allah.
***
Aku
tidak dapat menyangkalnya. Cerita ini memang sepenuhnya terlihat sangat menarik
bagiku pribadi. Hanya saja ada yang kurang entah mengapa. Mungkin aku harus
segera membacanya sampai selesai. Sayang sekali harus terpotong.
“Sasha...ayo
cepat turun, nak. Kita makan”.
Aku tidak bisa mengabaikan perintah
ibu begitu saja, bukan?. Dengan segera, tanpa harus mematikan laptop, aku turun
dari lantai dua untuk memenuhi perintah ibuku. Ah, entah mengapa, setelah
membaca cerita tadi membuat diriku bersyukur kepada Allah. Alhamdulillah aku
masih memiliki orangtua yang lengkap. Meja makan terlihat penuh. Keluarga
kecilku sudah berkumpul. Kegaduhan yang bisanya membuat kesal, kini terlihat
menyenangkan untuk ku.
***
Hidupku tidak lah menyenangkan seperti yang dikira.
Ditinggal kedua orangtua sejak masih kecil memberikan pukulan yang sangat telak
untuk jiwaku sendiri. Bibi yang merawat bukan berarti tak memberikan kasih
sayang tulus yang cukup. Hanya saja, aku terkadang merasa sendiri. Bibi belum
bisa menyembuhkan diriku dari perasaan rindu belaian kedua orangtua.
Hari ini, tepatnya tiga tahun yang lalu, aku dikirim
kedalam sebuah pondok pesantren. Yang aku tahu, pondok pesntren adalah tempat
pembelajaran yang berbasis islam dan menjunjung adat kesopanan antara guru dan
murid. Disini, para santri (sebutan orang yang belajar dipesantren) akan
diajarkan betul-betul masalah agama.
Kepindahanku agaknya
menggemparkan tempat ini. Aku masih ingat dengan tatapan merendah yang terus
menghujani ketika ketua pondok putra mengantarku menuju kamar yang akan
ditempati olehku. Sejujurnya ini sudah aku prediksi. Kalau diluar sana anak
alim yang ditatap rendah. Ditempat terdidik ini, malah anak sepertiku yang
diperlakukan demikian. Karma untuk ku yang sering menjahili anak alim dulu.
Hari-hariku dimulai
dari sini. Ketika bibiku berjalan pulang. Satu hal yang aku tahu. Aku kembali
seperti dulu, saat dimana orangtuaku meninggal. Dan aku baru menyadari sesuatu,
secara tak sadar, aku merindukan belaian kasih sayang bibiku.
Ketika aku kembali kekamar, aku mengira keadannya pasti
akan sangat sulit dan canggung. Melihat kondisi sekitar yang tak cukup
bersahabat tadi. Namun, sepertinya aku benar-benar belum mengerti bagaimana
cara hidup dilingkungan agama terdidik ini. Dalam sekejap, aku telah
mendapatkan teman. Ya. Dalam sekejap. Seolah tatapan mereka yang lalu hanyalah
sebuah candaan.
“Dirga. Aku tahu kau
ini dulunya sering melanggar aturan. Aku mohon, untuk tidak menerapkan kebiasaan
burukmu disini. Belajarlah dengan sungguh-sungguh. Diniatkan yang baik, ya.
Karena, jika sejak awal niatmu buruk, maka kesananya juga akan buruk”. Muhammad
Rofiq. Ketua pondok yang pertama kali memberikanku sebuah wejangan. Dan orang
yang menyebabkan panggilanku menjadi ‘Dirga’.
Aku menjawab dengan
singkat perkataan bang Rofiq. Cukup aneh juga dengan panggilan untuk senior
disini. Sepertinya aku harus segera beradaptasi jika ingin lancar kedepannya.
Dan hariku disini dimulai. Semua peraturan yang ada
dengan entengnya aku jalani. Dan bahkan, entah sejak kapan, aku mulai
diandalkan disini. Berawal dari aku yang sangat penasaran dengan sesuatu ketika
sedang musyawarah.
Pengetahuanku mengenai
Islam tidaklah terlalu minim juga. Mengingat mendiang orang tuaku yang gencar
sekali mendidik diriku agar menjadi pribadi yang religus dan taat. Aku tahu
sejarah islam. Tentang bagaimana Muhammad memperjuangkan amanah Allah untuk
menyebarkan agama islam. Atau bagaimana para sahabat sesudah wafatnya kekasih
Allah meneruskan perjuangannya. Iya. Aku tahu persis semua itu. Yang menjadi
pokok persoalan ini adalah:
‘Mengapa umat islam
terpecah dalam beberapa golongan?. Padahal, islam mengajarkan umatnya untuk
bersatu?. Dan yang lebih parahnya lagi, terkadang atau bahkan sering kali,
golongan-golongan itu menganggap dirinyalah yang paling benar’.
Pada akhirnya, pertanyaanku itu ditunda. Singkatnya tidak
ada yang bisa menjawab. Dari situlah aku mulai dipercaya untuk mengikuti lomba
debat islami. Setidaknya, aku mulai beranjak dari sisi gelapku selama ini.
Terima kasih kepada bibiku.
Dan untuk pertanyaanku
yang tadi, sampai sekarang belum ada yang bisa menjawab. Hanya saja, aku tahu
satu hal. Nabi Muhammad telah memprediksikan tentang umatnya yang akan terpecah
belah menjadi 73 golongan, dan hanya ada satu golongan yang selamat. Entah
siapapun yang selamat itu, aku pikir, tergantung dari keyakinan dan ajaran
orang yang didapatnya. Contoh saja jika ada seseorang yang memang sudah
diajarkan dengan ajaran yang sesaat. Maka untuk kedepannya, ia akan meyakini
kesesatan yang telah ia pelajari. Dan untuk oknum penyebar ajaran tersebut,
mereka akan dengan sangat senang mengambil keuntungan yang didapat tanpa tahu
resiko. Tapi, ada juga beberapa oknum penyebar yang bukan sekedar mencari
keuntungan. Mereka benar-benar mendalami islam. Hanya saja, dalam beberapa hal,
ada suatu hal yang salah mereka tangkap hingga menciptakan sebuah keyakinan
baru. Mana yang benar, mana yang salah?. Pertanyaan itu tidak dapat dijawab
oleh manusia. Hanya Allah-lah yang tahu jawabannya. Semua itu akan menjadi
rahasia manis yang akan terjawab pada akhir dunia nanti. Yang jelas, agama-ku,
Islam, tidak akan pernah mengajarkan umatnya untuk bebrbuat kekerasan. Pun
jikalau ketika zaman Nabi ada perang, itu hanya sebagai bentuk perlindungan dan
yang pasti, permintaan dari musuh sendiri.
Setidaknya, aku bisa membedakan
mana ajaran yang tidak terlalu melencang. Yah bagaimanapun itu, aku masih-lah
umat islam yang awwam, yang memiliki masa lalu cukup kelam. Kendati demikian,
dalam diriku yang terdalam, aku berniat untuk berubah. Agar aku tidak
mengecewakan orang-orang yang aku sayangi tentu saja.
***
Untuk
orang yang masih awwam, pandangan Dirga menurutku sangatlah luar biasa. Aku
jadi ingin bertemu dengannya secara langsung. Hanya sekedar untuk melihat wujud
dari penulis cerita yang menurutku mengajarkan beberapa hal. Dan yah, aku
merasa sedikit kecewa mendapati cerita ini yang sebentar lagi akan menemui
ujungnya.
Cukup dengan masa-masa betah dipondok. Kenyataannya, ada
frasa dimana aku sangat ingin pulang kerumah. Dimana pondok yang kulihat bukan
lagi tempat menyenangkan seperti dulu. Sedikit kekanakan mungkin, tapi memang
itulah yang aku rasakan. Masalah sepele bisa aku jadikan sebagai argumen untuk
alasan kepulanganku. Dan yang lebih parah, ada satu kejadian yang benar-benar
membuat diriku ingin sesegera mungkin keluar dari pondok.
Aku dipukul tanpa ada
alasan yang jelas.
Dan yah, masalah itu
terdengar sampai ketelinga bibiku. Tebak-lah, diriku yang sudah mencapai titik
jenuh membuat seklumit alasan untuk memperkuat keinginan agar segera
meninggalkan pondok ini. Padahal, ketika aku masih menjadi anak badung,
pukulan-pukulan dari perkelahian yang kuterima tidak menjadikan diriku pergi
dari dunia itu.
Hidupku
dipondok mulai berjalan monoton dimata. Mengaji. Mengaji. Mengaji. Semuanya aku
lakukan tanpa mengeluh sedikitpun. Ketika disuruh menghafal, aku menghafal. Ketika disuruh
untuk membaca, aku membaca. Ketika disuruh menjawab, aku menjawab. Ketika
disuruh bertanya, aku bertanya. Aku sudah banyak memperbaiki diri dalam kurun
waktu kurang dari setahun. Dan disanalah, aku merasa cukup untuk semua
pembelajaran ini. Terlalu monoton dan membosankan. Sebagian diriku yang gelap
mulai mengusai lagi. Jika aku tidak kena pukul, mungkin sekarang aku sudah
membuat kerisuhan dipondok. Bukankah lebih mengerikan melihat orang yang dirasa
sudah cukup berilmu masih melakukan hal yang tak sepatutnya. Daripada pelaku
tindakan buruk yang memang pada dasarnya tak mengetahui batasan.
Pak kyai tentu saja tidak mengizinkan diriku untuk keluar
dari pondok begitu saja, beliau hanya mengizinkaku pulang untuk menenangkan
diri. Beliau juga berusaha untuk menyelesaikan masalah yang menimpaku.
Hampir satu minggu aku
diam dirumah. Tanpa ada kegiatan apapun. Dan aku mulai merasa bosan. Aku
merindukan kehidupan monotonku dipondok entah mengapa.
“Pasti kangen disana
ya. Kau tahu Rei, anak yang memukulmu ternyata tidak bermaksud seperti itu. Dia
salah orang. Harusnya dia memukul orang yang ada dibelakangmu, tapi karena kamu
tiba-tiba lewat jadinya kamu yang kena”. Bibi muncul dengan segelas teh
ditangannya. Beliau tersenyum lembut kearahku.
“Kau sudah besar yah.
Bibi dengar, dipondok kau sudah mulai dipercaya menjadi anggota staff. Dan
kalau tidak salah, sempat dicalonkan menjadi ketua IPNU(Ikatan Pelajar Putra
Nahdlatul Ulama)”.
“Tunggu, darimana bibi
tau semuanya?”. Aku mengerinyat heran.
“Rahasia. Yang jelas,
jangan mencari alasan untuk kabur dari masalahmu, sayang”. Bibi mengusap
kepalaku. “Wah!. Kau sudah bertambah tinggi ternyata”. Aku mendengus mendengar
penuturannya.
Hening.
“Bibi tidak marah
dengan orang yang memukulku?”.
“Marah?. Mmm sedikit.
Tapi bibi sudah mengantisipasinya. Dipondok itu banyak sekali tipe macam orang.
Yang terbaik dan yang terburuk.Bibi juga sudah antisipasi jika nanti Rei
berulah dan harus dihukum berat. Apapun hukumanya, bibi akan terima. Karena itu
adalah cara untuk mendisiplinkan. Bibi lebih takut kamu terjerumus dalam
pergaulan bebas ketimbang kena hukum dipondok atau masalah apalah itu.
Bibi tahu apa yang kamu rasakan, sayang.
Karena, bibi juga dulu pernah merasakannya. Bibi bersyukur orangtua bibi
memondokan bibi waktu itu. Kau pasti sudah mengerti berkah para kyai, kan?”.
Aku mengangguk pelan.
Bagi para santri seperti kami, berkah para kyai adalah hal yang sangat penting.
“Bibi ingat, dulu bibi
pernah menjabat sebagai ketua IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama). Susah
sekali memang. Bibi sampai pusing”.
Semalaman itu, bibiku
menceritakan tentang masa mudanya yang ia habiskan didalam pondok. Beliau juga
pernah berada diposisiku. Berada tepat pada puncak kejenuhan yang disertai
dengan masalah pelik. Tapi, bibiku bisa melewati masa itu, dan akhirnya
berhasil menamatkan pendidikan disana dengan sempurna.
“Bibi juga kenal dengan
NU dari hasil bibi mondok. Menurut bibi, NU adalah aliran yang benar. Bukannya
menganggap aliran yang lain tidak benar. Ini hanya persepsi saja. NU itu
benar-benar mengajarkan banyak hal tentang dunia islam yang bibi belum ketahui.
Islam tidak memberatkan umatnya. Bibi rasa itu jelas sekali tertuju pada NU.
Ah, mungkin karena bibi memang sejak awal diperkenalkan dengan islam NU.
Lagipula, berkat
organisasi-organisasi ke-NU-an yang bibi ikuti, bibi menjadi pribadi yang lebih
baik sekarang. Bahkan, bibi juga terhindar dari islam radikal yang marak
terjadi sekarang. Alhamdulillah, mungkin ini juga berkat doa dari kyai-kyai
bibi. Kau tahu?. Dulu, bibi itu terkenal dengan santriwati yang badung”. Beliau
terkekeh dengan pandangan mata yang menerawang.
“Pokoknya, Reihan harus
bisa lebih baik dari bibi. Dan, untuk temanmu yang itu, dia ingin segera minta
maaf kepadamu”.
Yah...akhirnya aku kembali menimba ilmu
dipondok sana. Dan seperti yang bibi bilang, masalah yang menimpaku nyatanya
hanyalah sebuah kecelakaan yang harusnya tak terjadi. Pelaku pemukulan itu
meminta maaf kepadaku. Dan asal kalian tahu, pukulan yang ia daratkan kepadaku
tidaklah terlalu sakit. Ya hanya sebatas pukulan biasa dengan amarah tertahan.
Meski begitu, dia tetap bersalah. Dan hukuman dijatuhkan kepadanya.
Beberapa tahun kemudian, aku mulai dipercaya menjadi
ketua pondok putra. Selain itu, aku juga mendapat kehormatan untuk menjadi
seorang pengajar bagi santri-santri dipondok ini oleh pak kyai. Dan sekarang,
aku bukanlah lagi orang awwam dalam agama. Aku sudah cukup mengerti dengan
batasan-batasan islam.
Akhir kata, ini sebenarnya adalah cerita tentang
perjalananku untuk menjadi pemuda yang lebih baik. Islam NU-ku mengajarkan
banyak hal yang tidak aku tahu. Menjadi seorang santri juga banyak mengajarkan
hal-hal yang harus aku miliki dalam hidup di dunia yang sementara ini. Cahaya
kegelapan diriku kini sudah terganti oleh cahaya putih yang terang benderang.
Seperti seorang pangeran kegelapan yang mulai menyinarkan kemilau putihnya
karena bertemu dengan sebuah kebaikan.
Reihan Dirga Putra
***
Ah
sudah selesai. Kekurangan yang aku rasakan tadi mungkin ada pada alurnya.
Cerita ini kurang menjelaskan lebih mengenai NU. Meskipun demikian, dia tetap
menyampaikan maksudnya untuk membingkai pemuda yang cinta damai dengan kisahnya
ini. Entahlah, aku menangkapnya seperti itu.
Aku memutuskan untuk menyudahi
penilaianku malam ini. Hah, aku pikir cerita ini sudah masuk dalam kriteria
pemenang. Tapi, itu tergantung penilaian dari juri lain juga sih. Yang jelas
aku suka cerita ini. Tergantung dari keyakinan, ya. Yah, aku setuju dengan
pemikirannya.
***
Post a Comment