TERBIT
FAJAR
Karya
: Kamilul Husni Amir
Di ujung jalan itu, cahaya lampu redup
menguning, aku tergeletak lemah dengan penuh darah, kaki yang terbujur kaku,
tanpa daya.
Di
wajah ini terlukis memar yang membiru, asap yang tak henti terhempas bebas
lepas dari mulut ku, di selipan jari tangan kotor ini, sebatang rokok membara
dengan indah.
Botol demi botol sudah tergeletak kosong
sedari tadi, minuman keras ku tenggak sebagai pengobat sakit yang tak berwujud
tapi terasa amat perih ini.
Membuat
ku melayang menggapai surga dunia, seolah hilang sudah kesakitan ku, namun..
bukankah seragam putih abu-abu yang berlumuran darah ini menandakan bahwa aku
tidak baik-baik saja?
Ketika celana sobek, se-robek kulit
ku,
Ketika kilatan tajam samurai,
menyayat pembungkus pembungkus darah ku,
Ketika harapan terhempas bersama
hembusan angin.
Apalah
arti kasih sayang,
Ketika
yang seharusnya merawat malah mengusir.
Tetapi,
bukankah daun tak pernah membenci angin yang membuatnya terjatuh?
Lantas,
apa yang harus dilakukan oleh seorang anak SMA sebatang kara yang tengah
tertusuk duri tajam kehidupan, apa lagi.. selain menunggu pati menjemputnya?
###
Waktu beranjak tengah malam, ketika seorang
kakek berpunggung bungkuk dengan tangan kisutnya yang memegang erat sebatang
tongkat untuk tumpuannya berjalan, kumis dan jenggot yang sudah memutih dan
tebal itu menandakan usia renta nya, topi tudung lapuknya menutupi sebagian
wajahnya, lalu dia berjalan mendekati pemuda malang yang tergeletak tanpa
gairah.
“percuma Tuhan membuat mu hidup, mati sajalah,
jadi bangkai baru tau rasa!” suara lirih kakek mengisi keheningan malam itu.
Mendengar
ucapan kakek itu, mata ku terbelalak memerah.
“Hei
orangtua jahannam! Ape yang lu bacot barusan?” bentak ku sambil mengepalkan
tangan yang terkulai lemah.
“mau
jadi apa kau nak? Sudikah ibu mu melahirkan mu? Ridho kah Tuhan mu menciptakan
mu? Ingatkah engkau pada kematian? Dan kubur mu dalam kesendirian? Sedang
pertolongan apapun, tak ubahnya angin lalu yang tak dapat menolong mu saat
malaikat datang menanyaimu,
Wahai
pemuda, kuatkah engkau akan api neraka dan siksanya?”
Bagai
di hantam batu besar dan kilatan petir yang menyambar, hati ku terenyuh pilu.
Mata sayu ku berair meneteskan air hingga ke pipi, seketika itu juga tangan ku
terangkat, Aku Berdoa.
Kakek
tua itu lantas tersenyum penuh misteri, sambil menundukkan kepala ia
menghampiri ku.
“Wahai
Kakek, apa Tuhan akan mengampuni ku? Dan ibu ku akan menerima ku kembali?
Dapatkah aku menebus segalanya atas kedzholiman ku ini?”Tanya pemuda yang
diselimuti duri kehidupan itu.
“Sudah
puaskah kau berbuat sehingga segalanya sirna darimu? Begitu tenang dan
nikmatkah kau melakukannya? Bahagiakah kamu?” Ujar kakek mematikan kepercayaan
diri sang pemuda.
Dada
ku sesak mendengar perkataan itu,
“Wahai
Kakek, Demi Alloh, Apa yang ku dapat selama ini kalau bukan kehinaan yang
membinasakanku! Kalau saja aku bisa berubah, apakah Tuhanku menerima taubatku?
Apakah ibuku mengakuiku? Aku tersadar karena hentakan kau, mungkin bagi orang
lain kata – kata mu sederhana, tapi kesucian dan kemurniaan hati mu yang
menggetarkanku.” Sesal ku saat itu.
“Lantas,
Apa yang harus ku lakukan?” Tanya Pemuda
“bertaubatlah,
kembali pada-Nya. Sebesar dan sebanyak apapun dosa mu, Alloh tetap masih
merindukanmu kembali pada-Nya. Ia menunggu mu di pintu taubat, Ibu mu selalu
menangisi mu, berharap kau pulang dan berubah. Karena cinta nya kepadamu, lebih
dari cinta mu kepadanya, seburuk apapun dirimu, Rayulah Tuhanmu dan Ibu mu.”
Ujar kakek menghantar cahaya hidayah
“tapi..”
ucap ku ragu
“Sssstt..
kau tak perlu takut. Alloh selalu bersama mu, Ia lebih dekat daripada yang
paling dekat dengan mu, Ia lebih dari sahabat sejatimu, kau tak pernah sendiri,
cahayai hatimu dengan iman, hiasi hidup mu dengan sunnah dan sholawat,
bertingkahlah dengan akhlakul karimah. Ilmu mu tersimpan dalam hati,
terealisasi dengan kedewasaan, bacaan mu adalah Al-Qur’an, mengertilah! Petik
hikmah di setiap kau melangkah, pasti terdapat ‘ibroh.” Nasihat Kakek
Aku
pun menganggukan kepala ku, pertanda bahwa aku paham dengan apa yang kakek
ucapkan, namun saat ku angkat kepala ingin mengucapkan terimakasih dan
tersenyum, seketika angin malam berhembus halus menyentuh ruang paling dalam di
relungku,bersamaan dengan itu.. sang kakek menghilang.
Post a Comment