Tuhan Jujurlah, Bahwa Ayahpun merindukanku
Semilir angin terbangkan rindu,
Membawa serta sebuah perasaan
teramat syahdu,
Dalam suasana haru biru didalam
ruang rindu,
Hadirlah sosok baru yang selama ini
selalu ditunggu.
“eaaaak..
eaaaaakkk… eaaaaakkkkk” Jerit tangis seorang bayi perempuan.
“hole..
beta punya anak su keluar” Ujar sang Ayah
(terj:hore.. anak saya sudah lahir)
Suatu hari
pukul 02:00 pagi, lahirlah seorang bayi perempuan mungil, ditengah keluarga besar
bermarga “mitak” di daerah Flores, Kupang, Nusa Tenggara Timur,
Indonesia.
Bayi perempuan ini di anugerahi sebuah nama
yang diturunkan dari nenek moyang keluarga besar tersebut yakni “Sabina Dangut
Della Mitak” yang diganti menjadi; “Sabina Della Putri Mitak” untuk membedakan.
Lahir ditengah keluarga yang beragama
katholik dan masih memegang teguh adat istiadat, membuat saina begitu mencintai kampung halamannya.
Hingga
suatu ketika…
Di suatu sore yang mencekam..
Ayah memutuskan untuk memboyong keluarga
kecil kami merantau ke kota metropolitan ‘Jakarta’, dengan harapan Tuhan akan melirik usaha kami untuk memperbaiki
perekonomian keluarga, karena kata orang ‘Jakarta
adalah tempat yang mudah untuk mengais rezeki’.
Padahal
Realitanya.
Jakarta bukan tempat seperti itu ,
Buktinya
Ayah sangat sulit mendapatkan pekerjaan,
Tapi,
walaupun begitu.. Ayah tak pernah mengeluh,
Di
tengah terik matahari yang menyengat, Ayah dan anak perempuannya yang manja itu
tetap bersemangat mencari lowongan pekerjaan.
”Yah,
kita mau kemana lagi?daritadi jalan terus.” Tanya Sabina siang itu.
“kata
teman Ayah, 200 M lagi kita akan sampai di jalan yang banyak terdapat bengkel
motor, siapa tahu bengkel itu butuh montir. Sabina lelah yaa?”
“Enggak
Yah!” Ucap Sabina tegas
“kalo
Ayah gendong, Mau?” Tawar sang Ayah
“emmm..mauu..
hehe”
Ayah pun berlutut sembari menawarkan
punggungnya kepada Sabina, dengan wajah ceria Sabina memeluk leher ayahnya,
lalu mereka kembali melanjutkan perjalanan, satu per satu bengkel diketuk,
namun tak kunjung juga ada yang membuka lowongan pekerjaan, padahal senja telah
tiba, burung pun tengan berterbangan menuju sarangnya, wajah Ayah Nampak
kelelahan, tapi senyumannya tak pernah pudar, Ayah bak Senja yang tak
berjingga, seperti apapun beliau coba untuk tersenyum, kecemasan nya tetap tak
bias tertutupi begitu saja, Ayah begitu membutuhkan pekerjaan.
Ayah kelihatan sangat khawatir akan
kelangsungan hidup keluarga, karena ini bukan kali pertama Ayah pulang sebagai
pengangguran, sudah sekita 18 hari ini Ayah berusaha kesana - kemari
berkeliling mencari pekerjaan, cadangan uang pun semakin tipis, dan Sabina
harus segera di daftarkan ke sekolah dasar.
Di sisi lain, Ayah dan Sabina mengisi
hari-hari dengan belajar, banyak pelajaran yang ia dapat dari sang Ayah, mulai
dari bermusik, belajar menghitung, berbahasa, sampai belajar mengenal berbagai
macam karakter masyarakat.
Sabina tak punya televisi dirumah nya,
terkadang saat Ayah sedang tak dirumah, Sabina main kerumah tetangga, untuk
menonton televise, tapi keakraban itu tak berlangsung lama, karena Sabina
dijauhi temannya, dengan alasan orangtua mereka tak mengizinkan mereka bermain
dengan anak yang beda agama, kata nya bermain dengan sesame orang islam
itu lebih baik.
Sabina menceritakan kejadian itu kepada
Ayahnya, sambil menangis tersedu-sedu, Sabina merasa sedih mengapa tak ada yang
mau berteman dengannya, lalu sang Ayah menasihati;
“Sabina,
Jangan Bersedih.. Sabina berdoa yaa sama Tuhan, semoga suatu saat mereka mau
berteman dengan Sabina.
kecilnya
Sekarang, mungkin Tuhan masih ingin berteman akrab denganmu, dan menjauhkan
mereka, agar Tuhan menjadi satu-satunya untukmu, nak.” Petuah sang Ayah sembari
mengusap airmata putri yang rapuh.
2 tahun kemudian
Ayah bekerja menjadi seorang montir di
bengkel motor, setiap pulang sekolah Sabina bergegas menyusul Ayahnya ke
bengkel, menunggu sore, menghabiskan waktu dengan belajar, duduk manis
dibengkel sambil se sekali melihat Ayah yang kepanasan di bakar terik matahari.
Tahun
demi Tahun berlalu..
Keadaaan
perekonomian keluarga tak semakin membaik,
Ayah
dan ibu semakin sering bertengkar,
Ibu
selalu menuntut Ayah bekerja lebih keras lagi, untuk memenuhi segala kebutuhan
yang semakin mencekik.
Padahal
Ayah sudah berusaha semaksimal mungkin, siangnya ia gunakan untuk bekerja
keras, dan malam harinya ia habiskan untuk berlutut di depan salib, menangis
dan melantunkan segala doa dan harapannya.
Namun
malapetaka terjadi..
Saat
Sabina duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar.
Keadaan
ekonomi yang semakin terpuruk, membuat Ibu semakin sering marah-marah dan
membentak Ayah, Sabina adalah saksi nyata pertengkaran hebat mereka setiap
malam, Hal ini, lama-kelamaan membuat rumahtangga Ayah dan Ibu berantakan,
hingga akhirnya berujung perceraian.
Ayah lalu memutuskan untuk pulang ke flores,
meniti kehidupan baru sendirian, meninggalkan putrid kecilnya yang malang
‘Sabina Della Putri Mitak’
Ayah adalah seorang montir yang handal, mampu
memperbaiki banyak kendaraan yang rusak, tapi tak bisa memperbaiki
rumahtangnnya sendiri.
Sabina melanjutkan hidupnya dengan tidak
baik-baik saja, bagaimana mungkin ia tak merindukan Ayahnya, kehilangan harta
paling berharga dalam hidupnya membuat ia merasakan sakit yang tak berujung,
Sabina terkapar menahan sedih, hatinya yang bersih masih sangat membutuhkan kasih
saying sang ayah tercinta,
Sabina bagai lebah yang kehilangan
sarang,
Tak ada tujuan kemana harus pulang,
Hilang arah tanpa kebahagiaan.
“Tuhan , dimana Ayah berada?
Sabina pengen ketemu Ayah,
Sabina pengen ke rumah Tuhan sama Ayah lagi,
Sabina mau hidup susah sama Ayah,
Makan sedikit sama Ayah,
Sabina mau menghabiskan sore ditempat kerja Ayah
lagi,
Tuhan.. Sabina ingat waktu Ayah tak punya uang untuk
merayakan hari ulangtahunku, dan Ayah hanya mampu membeli sebutir telur ayam
kampung, yang kita rebus lalu makan berdua,
Tuhan.. Sabina kangen di peluk, digendong, dan tidur
disamping Ayah,
Tuhan, balikin Ayah kerumah,
Ibu gapernah jawab Ayah dimana,
Sabina butuh Ayah.
Tuhan, jujurlah.. Ayahpun merindukanku,kan?”
Rintih gadis kecil itu setiap malam.
5 tahun
Sepeninggal Ayahnya.
Tuhanku,
jadikan aku alat penebar kedamaian di bumi,
Bantu
aku menanamkan cinta di mana pun ada dengki,
Toleransi
dimana pun ada permusuhan,
Keyakinan
dimana pun tumbuh keputusasaan,
Cahaya
dimana pun kegelapan berkuasa,
Dan
sukacita dimana pun hati di baluri duka lara.
Tuhanku,
bantu aku memahami keadaan orang lain sebelum mereka memahami keadaan ku, juga
mencintai mereka sebelum mereka mencintaiku.
Sebab,
seseorang hendaknya tidak meminta sesuatu sampai ia memberikannya, dan tidak
meminta maaf pada orang lain sebelum ia memaafkan mereka.
Mereka
pun tidak akan merasakan hidup yang abadi sebelum merasakan kematian.
Sabina yang besar dan terdidik diantara
mayoritas umat muslim pun akhirnya terketuk pintu hatinya untuk masuk islam, di
awali hatinya yang bergetar saat mendengar suara muadzin yang mengumandangkan
adzan dengan sangat merdu, Sabina lalu di islamkan oleh ustad di masjid al
- azhar Jakarta dengan dituntun
mengucapkan dua kalimat syahadat, dimana Sabina sangat lancer melafalkan nya
karena di hatinya selalu terngiang suara adzan, ustad pun memberikan sedikit
sosialisasi tentang islam.
Di sekolah, Sabina sangat antusias
memperdalam belajar agama yang dibimbing langsung oleh guru agama islam di smp
nya, Sabina belajar cara berwudhu, bacaan dan gerakan sholat, serta cara
membaca Al-Qur’an yang baik dan benar.
Sabina tumbuh menjadi remaja cantik dan
cerdas dan selalu semangat dalam belajar, sikap pantang menyerah ini tentu
karena didikan Ayahya sedari kecil, Sabina tak pernah menghiraukan lelahnya
menuntut ‘ilmu, ia selalu rajin memahami dan menghapal banyak pelajaran.
Dan
kepada Tuhan nya yang baru ia kenal, Sabina tetap bertanya;
‘Ayahpun,
merindukanku kan ya Rabb?’
Post a Comment